REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Kepolisian Nasional menilai, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebaiknya mengikuti perintah Presiden agar jangan 'gaduh' terkait pernyataan TNI yang menyebutkan impor amunisi Polri belum berpayung hukum. Pasalnya, menurut dia hal tersebut dikhawatirkan dapat memicu ketegangan.
Pakar kepolisian Kompolnas Andrea Poeloengan dalam keterangan yang diterima Republika.co.id menilai, hal ini disebabkan karena timpang tindihnya aturan persenjataan. Alasan militer menjalankan amanah hukum menyimpan amunisi tajam dari peluncur granat Polri, menurut Andrea tidak dapat diterima.
Menurut Andrea, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 Senjata Api, Pendaftaran, Izin Pemakaian, Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara No. 14 dan menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, pasal 5 ayat (1) jelas dan ayat (2) menegaskan bahwa yang mengatur pendaftaran senjata milik Sipil dan Polri adalah Polri. "Sedangkan TNI hanya mengatur miliknya sendiri," kata dia Selasa (11/10).
Kemudian, berdasarkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perizinan yang Diberikan Menurut Perundang Undangan Mengenai Senjata Api, ditegaskan pula sebagai mana dimaksud dalam Pasal 1 aturan masing-masing Angkatan Perang diurus oleh masing-masing Departemen Angkatan Perang sendiri.
Artinya, lanjut Andrea, terhadap senjata milik Polri, tidak ada kewenangan TNI mengawasi dan mengatur kepemilikan serta penggunaan senjata apapun milik non organik-TNI. Namun, Permenhan ternyata bertentangan dengan UU. Sehingga, keberlakuan pasal-pasal yang mengatur senjata Polri dan Sipil Wajib dikesampingkan, tidak mengikat dan tidak boleh dijadikan rujukan hukum.
"Pasal Permenhan dimaksud harus dipandang batal demi hukum dan jika masih dipakai, wajib dibatalkan melalui proses hukum atau dengan sukarela oleh pembuatnya," kata Andrea.
Untuk permasalahan ini, Andrea menilai agar Kemenhan segera merevisi pasal terkait dengan persenjataan yang merupakan kewenangan Polri. Dia juga berharap, pemerintah beserta DPR bisa membuat dan mensahkan UU Peradilan Umum bagi anggota Militer yang terlibat permaslahan nonmiliter dan nonperang, sebagaimana amanah Tap MPR no 6 dan 7 tahun 2000.
"Sehingga akan mudah melakukan audit forensik dan penyidikan terhadap pengadaan dan keberadaan senjata milik militer Indonesia, oleh institusi sipil," ujar dia.