Jumat 29 Sep 2017 10:22 WIB

Urusan 5.000 Senjata Sudah Aman Jenderal?

Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo (kanan) bersama KSAD Jenderal TNI Mulyono (kedua kanan), KSAL Laksama TNI Ade Supandi (kedua kiri) dan KSAU Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kiri) memanjatkan doa di makam Jendral Besar Soedirman, Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, DI Yogyakarta, Selasa (19/9).
Foto:
Prajurit TNI AL melakukan atraksi seni ketangkasan senjata pada peringatan Hari Armada RI di Dermaga Makolantamal VI Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (5/12).

Reaksi Presiden yang santai, rileks dan kalem mengindikasikan bahwa Gatot berada dalam koridor “permainan” yang bisa dikendalikan. Dalam konteks pergulatan kekuasaan (power game),  pada kedua isu itu justru Jokowi sesungguhnya yang menjadi “aktor utama.”

Dalam peribahasa Jawa dikenal sebuah istilah “nabok nyilih tangan.”  Menampar, memukul orang, dengan meminjam tangan orang lain.

Yang menjadi sasaran pemukulan pada isu 5.000 senjata adalah institusi Badan Intelijen Negara (BIN) yang kini dipimpin oleh Jenderal Budi Gunawan orang dekat Ketua Umum PDIP Megawati. Sementara pada isu Nobar yang menjadi “korban” adalah PDIP dan Megawati.

Kita pasti belum lupa bagaimana Jokowi “menyingkirkan” Budi Gunawan sebagai kandidat Kapolri dengan cara yang sangat dingin. Momentumnya saat itu yang menabok Budi Gunawan adalah KPK dengan menetapkannya sebagai tersangka.

Budi Gunawan kemudian memenangkan perseteruannya dengan KPK melalui gugatan pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Logikanya setelah Budi Gunawan secara hukum dinyatakan bersih, dia otomatis dilantik menjadi Kapolri. Sebab DPR secara aklamasi juga sudah menyetujui penunjukkan Budi.

Ternyata Jokowi menolak untuk melanjutkan penunjukkan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Dia malah memilih Tito Karnavian sebagai Kapolri melompati beberapa angkatan di atasnya.

Setelah melalui berbagai kompromi politik,  Budi Gunawan mantan ajudan saat Megawati presiden, kemudian mendapat pos baru sebagai Kepala BIN.

Posisi BIN kendati setara dengan jabatan setingkat menteri, tentu tidak se-prestisius dan se-setragis Kapolri. Pilihan pada Tito (Akpol 1987) yang melompati Budi Gunawan (Akpol 1983) tentu juga dimaksudkan untuk mengikis pengaruh Budi Gunawan yang begitu kuat pada Akpol 1983,1984, 1985 dan 1986. Jokowi ingin menjadi pengendali utama permainan.Bukan Megawati, apalagi PDIP.

Terpilihnya Gatot sebagai Panglima TNI, kendati tidak “sedramatis” Tito, juga menunjukkan bahwa Gatot adalah “orang” Jokowi. Secara konvensi sejak era reformasi, Panglima TNI dijabat secara bergiliran antar ketiga angkatan AD, AL dan AU. Saat itu secara konvensi harusnya yang menjadi Panglima TNI berasal dari matra TNI AU. Sebab panglima sebelumnya dijabat oleh Jenderal Moeldoko yang juga berasal dari matra TNI AD.

Namun melawan tradisi, Jokowi kemudian malah memilih Gatot yang kebetulan walaupun lahir di Tegal,  namun punya trah dan besar di Solo, sama dengan asal Jokowi.

Sebagai orang Solo dengan tradisi Mataraman,  Jokowi terbiasa dengan politik dan bahasa simbol. Dalam bahasa Jawa disebut sebagai sanepo, personifikasi, bahasa kiasan yang penuh makna. Tindakan dan ucapan Jokowi tidak bisa diartikan secara linier.

Menariknya sebagai rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun TNI ke-72 , TNI akan menggelar pertunjukan wayang NKRI berupa wayang dari 11 daerah. Salah satu lakon atau cerita wayang yang digelar adalah “Parikesit Jumeneng Ratu,”  atau Parikesit menjadi raja.

Untuk memahami konteks politik pilihan judul wayang yang dipilih oleh Panglima TNI setidaknya Anda juga perlu memahami kosmologi Jawa yang penuh simbol dan personifikasi.  Parikesit Jumeneng Ratu adalah bagian penutup dari seri wayang purwa (lama) pasca perang habis-habisan Barata Yudha antara Astina yang mewakili simbol keburukan, melawan Pandawa sebagai representasi kebaikan.

Sebagai  trah Pandawa, Parikesit sejak kecil sudah ditakdirkan menjadi Raja Hastinapura. Oleh para kompetitornya sejak bayi dia sudah dicari-cari untuk dibunuh. Berbagai intrik politik dilakukan untuk menggagalkannya menjadi raja. Tapi karena sudah ketentuan takdir ilahi, dia tetap menjadi raja. Itu semua berkat  ayahnya mendapat wahyu Jaya Ningrat (Cakra Ningrat). Berbagai intrik dan  konspirasi politik tidak berhasil menggagalkannya menuju tampuk kekuasaan, jumeneng Nata.

Jokowi saat ini tengah  melakukan konsolidasi kekuasaan, berbagai hiruk pikuk yang terjadi harus dilihat sebagai bagian dari pergulatan kekuasaan jelang Pilpres 2019. Sebagai Presiden tentu Jokowi tidak cukup hanya puas menjadi “petugas partai.”  Sebab realitas hari ini sesungguhnya Jokowi sudah lebih besar dari partai itu sendiri.

Apakah lakon “Parikesit Jumeneng Nata” ini merupakan pesan  tersirat yang dibungkus dengan pagelaran pewayangan untuk Jokowi, atau untuk Gatot sendiri? Waktu yang akan membuktikan.

 

*Jurnalis Senior.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement