Selasa 26 Sep 2017 20:53 WIB

'Loyalitas Ganda Penyidik KPK Timbulkan Konflik Kepentingan'

Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Pidana Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa loyalitas ganda terkait penyelidik dan penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menimbukan konflik kepentingan. Hal tersebut dikatakannya saat memberikan pendapatnya sebagai ahli yang dihadirkan tim kuasa hukum Setya Novanto (Setnov) pada lanjutan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/9).

Menurut Romli, tidak ada larangan bagi KPK untuk mengangkat penyidik dari Polri maupun Kejaksaan, namun harus mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan memberhentikan sementara penyidik dari asal instansinya tersebut.

"Loyalitas ganda akan menimbulkan konflik kepentingan dan tidak ada hubungannya dengan independensi. Jadi kalau tidak diberhentikan sementara itu jadi persoalan," kata Romli.

"Terkait diberhentikan sementara, ahli sebagai penyusun Undang-Undang KPK, pada saat Undang-Undang disusun seperti apa filosofinya? penyelidik, penyidik, dan penunut harus diberhentikan sementara?," tanya anggota tim Biro Hukum KPK Evi Laila.

"Saya jelaskan bahwa KPK ini lembaga super body, punya kewenangan khusus karena korupsi itu kejahatan luar biasa. Dalam hal kewenangannya dari penyelidik, penyidik, dan penuntut sehingga harus independen tidak boleh dicampuri siapa pun," jawab Romli.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon dalam hal ini Setya Novanto.

Sebelumnya, dalam dalil permohonan praperadilan yang diajukan Setya Novanto, salah satu yang dipermasalahkan adalah status ganda penyelidik atau penyidik di KPK.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri.

Setya Novanto disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement