Selasa 26 Sep 2017 18:43 WIB

Wartawan Dipandang Perlu Pelatihan tentang JKN

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Foto: IST
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tingkat pemahaman masyarakat Indonesia tentang program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dirasa masih kurang. Oleh karena itu, para wartawan dirasa perlu dibekali pengetahuan yang komprehensif agar sanggup menyosialisasikan dengan benar program pemerintah tersebut.

"Sebagai contoh, masyarakat sering salah kaprah dengan menyamakan JKN dengan BPJS. Padahal keduanya tidak sama. JKN adalah program negara, sedangkan BPJS adalah badan yang diamanatkan UU untuk mengelola program tersebut," ujar Director Social Protection Programme GIZ, Cut Sri Rozanna, pada acara National Consultation Meeting JKN-KIS Reportage di Hotel Tentrem Yogyakarta, Selasa (26/9).

Dengan pengetahuan yang memadai, diharapkan wartawan bisa melahirkan tulisan yang atraktif dan konstruktif sehingga terbentuk pemahaman yang komprehensif tentang JKN. "Silakan mengkritisi sesuai peran wartawan sebagai agent of change, namun harus konstruktif," ujar Rozanna menambahkan.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ahmad Ansyori, menegaskan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), termasuk di dalamnya JKN, hadir dengan berlandaskan lima hal, yakni hak konstitusional warga negara, tanggung jawab negara, perkembangan setiap orang secara utuh, asas kemanusiaan dan martabat manusia, serta pemenuhan kebutuhan dasar hidup layak.

Tujuan SJSN adalah memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta atau anggota keluarganya apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan kerja, memasuki usia lanjut, atau meninggal dunia.

"Yang jadi pertanyaan apakah para wartawan sudah menjadi bagian dari solusi sistem (SJSN) ini? jika tidak berarti para wartawan merupakan bagian dari masalah," kata Ansyori.

DJSN, kata dia, baru-baru ini melakukan penelitian terhadap hasil liputan 10 wartawan media nasional. Hasilnya, sembilan dari 10 liputan memberitakan hal negatif mengenai JKN. "Ini membuat pemberitaan mengenai JKN menjadi terakumulasi negatif. Padahal jika dari sudut pandang yang lain sebenarnya banyak orang bersyukur atas keberadaan program ini," katanya.

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY, Sihono, mengungkapkan sebenarnya keberadaan program JKN telah banyak meringankan dirinya sebagai salah satu wartawan peserta program tersebut. Hal tersebut ia rasakan saat sang anak harus melakukan operasi jantung yang total menghabiskan biaya hingga Rp 125 juta.

Oleh karena itu, ia mendukung langkah Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) Fakultas Kedokteran UGM yang didukung Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) menggelar pelatihan bagi para wartawan.

Ia berharap forum seperti itu bisa meningkatkan kepekaan wartawan terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya khususnya terkait JKN. Kedua, seandainya sudah peka maka wartawan harus kritis, caranya dengan rajin berdiskusi tentang isu tersebut dengan para narasumber terkait. "Sehingga wartawan bisa memberikan jalan keluar terhadap masalah-masalah tersebut. Jangan justru menjadi bagian dari masalah," katanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement