Selasa 26 Sep 2017 17:56 WIB

Pansus Ungkap Penyimpangan KPK di Rapat Paripurna DPR

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa menyampaikan laporan pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa(26/9).
Foto: Republika/Prayogi
Pimpinan sidang Fahri Hamzah menerima naskah laporan dari ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa pada rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa(26/9).

Pansus dalam laporan Agun juga menyoroti tidak terbangun sinergitas harmoni KPK dengan lembaga negara dan pemerintah meski telah dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara lembaga tersebut.

"Yang seharusnya KPK menjadi contoh dan teladan bagi berbagai lembaga negara, pemerintahan dan penegakan hukum, dalam kenyataannya justru mempertontonkan kewenangan yang supreme dengan tidak menghargai dan menghormati lembaga-lembaga tersebut sebagai pihak yang dikoordinasikan dan disupervisi," kata Agun.

Kedua, terkait aspek kewenangan juga Pansus menemukan ketidakpatuhan KPK yang dirinci Pansus menjadi 11 temuan diantaranya KPK cenderung melenceng dari KUHAP dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Bahkan KPK melanggar dari ketentuan, peraturan, ataupun kesepahaman yang dibuat atau ditandatangani sendiri.

Hal ini terbukti dengan beberapa temuan Pansus Angket KPK, seperti MoU penanganan korupsi yang dibuat bersama Kepolisian dan Kejaksaan.

"Terutama dalam menangani kasus yang melibatkan penegak hukum, tidak berjalan sebagaimana telah disepakati atau digunakan hanya untuk pencitraan diatas secarik kertas saja," ujarnya.

Selain itu, banyaknya pelanggaran prosedur hukum acara yang seharusnya menjadi acuan seringkali terjadi di lapangan mulai dari melanggar hak asasi manusia dan hak warga negara di muka hukum yakni posedur hukum dan upaya paksa seperti penyitaan, penggeledahan, dan penahanan seringkali melanggar Hukum Acara Pidana.

Ia memaparkan, Pansus Angket ini juga menemukan bahwa KPK seringkali melanggar ketentuan dalam pengumpulan alat bukti bahkan diduga KPK memaksa dengan melakukan rekayasa alat bukti. Hal ini seperti alat bukti saksi sebagaimana pengakuan saksi di KPK Niko Panji Tirtayasa yang menyatakan bahwa dirinya diintimidasi dan diiming-imingi reward untuk mengikuti kemauan penyidik dalam membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diinginkan KPK.

"Banyak BAP saksi di berbagai kasus seperti dalam perkara korupsi ME, AM, SDA, JW, SFS dan lain-lain yang pernyataan saksinya diintimidasi dan terkesan direkayasa sehingga terjadi pertentangan satu sama lain," ujarnya.

Begitu pun Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK dianggap tidak sesuai dengan Pasal 1 butir 19 KUHAP, sehingga OTT KPK secara hukum dapat dikatakan tidak sah karena belum memiliki payung hukum yang jelas agar dapat menjadi proses hukum yang sah.

"OTT ini hanya sebagai alat oleh KPK untuk menciptakan opini publik seperti layaknya suatu drama dan menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja KPK. Padahal nyata-nyata OTT ini tidak berpengaruh secara signifikan dalam penyelamatan keuangan negara.

Tak sampai hanya OTT,  Pansus juga mempersoalkan peoses Penyadapan sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010) dan UU N0. 19 Tahun 2016 yang mengatur bahwa penyadapan harus diatur dalam peraturan tersendiri.

Namun seringkali diduga kewenangan penyadapan ini malah disalahgunakan untuk kepentingan tersendiri, yakni untuk proses penjebakan, penggiringan opini publik, sampai menjadi alat bukti di persidangan. Padahal kata Agun, diketahui belum ada peraturan yang mengatur mengenai keabsahannya.

Penyadapan juga dilakukan oleh KPK terhadap seseorang tanpa batasan waktu. "Kapan penyadapan dimulai dan kapan penyadapan tersebut berakhir, karena belum adanya peraturan yang jelas mengenai penyadapan. Hal ini menunjukkan betapa KPK nyata-nyata melanggar Hak Asasi Manusia.

Tak ketinggalan, Pansus juga menyertakan temuan soal manajemen barang rampasan dan sitaan sebagaimana diatur dalam KUHAP yang mengatur bahwa pengelolaan Barang Rampasan dan Sitaan terkait Tindak Pidana seharusnya dilakukan bersama RUPBASAN. Namun KPK kata dia, selama ini justru membentuk Unit sendiri (LABUKSI) yang datanya tidak terkoordinasi dan tersinkronisasi dengan data di RUPBASAN.

"Selain jelas melanggar ketentuan, persoalan ini diduga menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi oknum-Oknum yang tidak bertanggungjawab," ujarnya.

KPK juga kata dia, menafsirkan sendiri mangenai kewenangan eksekusi yang tidak sama sekali diatur kewenangan KPK di dalam ketentuan. Padahal UU KPK tidak mengatur mengenai kewenangan Jaksa KPK untuk melakukan eksekusi.

"Bahkan di dalam KUHAP dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mengatur bahwa kewenangan eksekusi hanya pada institusi jaksa," katanya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement