REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi Sk mengatakan, berbagai upaya dilakukan untuk menjelaskan konsep dan poin penting usulan alternative ATVSI. Ini dilakukan menanggapi langkah Dewan Perwakilan Rakyat untuk tetap memberlakukan single mux operator.
ATVSI menurut Ishadi, menjelaskan konsep dan juga poin penting usulan alternative ATVSI kepada para ketua partai politik. “Road show ke sejumlah partai politik sudah kita lakukan. Para ketua partai politik juga menyatakan tidak sepakat dengan konsep single mux itu karena berpotensi menciptakan situasi yang tidak demokratis seperti di jaman Orde Baru. Mereka juga memahami serta mengapresiasi masukkan dari kami,” ujarnya.
Dalam road show itu, ATVSI kembali menegaskan pentingnya pelayanan kepada masyarakat baik secara teknis dan juga konten program di mana keduannya akan terus ditingkatkan dan diperbaiki. Ishadi menambahkan, pemerintah dan DPR RI harus menetapkan bisnis model migrasi digital yang tepat, sehingga dapat menciptakan industri penyiaran yang sehat, kuat dan memiliki daya saing di kancah internasional.
Sementara itu Pengamat Komunikasi Politik Universitas Palita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, untuk menjamin kebebasan berpendapat maka sejatinya negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran untuk mengelola aspek, termasuk frekuensi dan infrastruktur yang terkait dalam proses produksi program acara.
Menurut Emrus, pandangan bahwa pengelolaan frekuensi dan infrastruktur secara sentralistik atau tunggal membuat lembaga penyiaran termajinalisasi. Dengan skema itu tentu berpotensi menimbulkan praktik monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha yang kurang sehat. “Selain itu, bisa terjadi dominasi operator terhadap lembaga penyiaran. Sebab operator menguasai frekuensi dan infrastruktur yang dapat membatasi gerak langkah lembaga penyiarn memproduksi program acara yang secepat mungkin disampaikan kepada publik dan bermutu,” ujar Emrus.
Senada dengan Emrus, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Kamilov mengatakan bahwa penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau lebih dikenal dengan Single Mux, bertentangan dengan semangat demokrasi yakni terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Kamilov Sagala juga menilai, isi RUU Penyiaran 2017 tidak sejalan dengan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Misalnya, Pasal 2 yang berbunyi, "Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.”
Serta, Pasal 17 ayat (1) berbunyi, "Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Dan ayat (2) berbunyi, Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
"Melihat pada isi Pasal-pasal yang disebutkan diatas jika dihubungkan dengan RUU Penyiaran yang akan menetapkan LPP RTRI sebagai Multiplexer Tunggal tentu sudah jelas tidak sesuai dengan semangat UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," kata Kamilov Sagala.
Menurut Kamilov, Komisi 1 tidak memperhatikan betul keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum. Penetapan LPP RTRI menjadi Multiplexer Tunggal juga akan berakibat pada menurunnya iklim usaha yang kondusif serta jaminan kepastian dan kesempatan berusaha tidak ada karena sudah terjadi praktek monopoli oleh LPP RTRI melalui RUU Penyiaran ini.
Kamilov menambahkan, Komisi 1 seharusnya menjadi pihak yang menjamin tumbuhnya iklim kompetisi yang sehat dalam industri penyiaran. Namun disesalkan, Komisi 1 malah menjadi pihak yang merusak iklim kompetisi dengan hanya mendengar masukan-masukan pihak yang tidak sepenuhnya mengerti proses penyelenggaraan TV FTA di Indonesia. Komisi 1 sebaiknya mendengar masukan dari pelaku industri secara komprehensif, bukan malah mengabaikan prinsip demokrasi dalam industri penyiaran.