REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Penyiaran saat ini telah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Meskipun demikian, melihat hasil rapat konsep RUU Penyiaran tersebut dinilai masih jauh dari harapan dalam menciptakan industri penyiaran yang sehat dikarenakan masih ada sejumlah poin yang secara substansi belum menemukan titik temu.
Jika kesepakatan dalam rapat tersebut tercapai, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR yang nantinya Komisi I akan membawa draf RUU Penyiaran ke Sidang Paripurna DPR untuk disahkan menjadi RUU Penyiaran Inisiatif DPR.
Salah satu dari perubahan substansi yang dilakukan oleh Baleg adalah tentang model bisnis migrasi sistem penyiaran televisi terresterial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital. Namun Komisi 1 tidak bersedia untuk mengubah konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital.
Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK menilai, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran. Dalam konsep tersebut dimana frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator dalam hal ini LPP RTRI, justru menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh Pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.
”Kami tegaskan menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut dlakukan oleh lembaga uyang dimiliki oleh Pemerintah” ujar Ishadi SK dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta.
Ishadi menegaskan konsep single mux bukan merupakan solusi dalam migrasi TV analog ke digital. Penetapan single mux operator akan berdampak kepada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi yang menjadi roh penyiaran dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak saja, terjadinya pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.
“Solusinya dengan memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal dengan model bisnis hybrid. Konsep hybrid merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktek monopoli (single mux),” kata Ishadi.
Ishadi mengatakan, saat ini konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, market share TV FTA hanya 10 persen dan 30 persen sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH. Sedangkan, di Indonesia justru market shares TV FTA sebesar 90 persen sedangkan sisanya 10 persen adalah TV Kabel.
“Kita harus melihat bahwa konsep single mux yang ditetapkan di Malaysia justru tidak berjalan mulus dan banyak masalah sejak diluncurkan. Tingkat layanannya rendah dan harga tidak kompetitif sehingga para stasiun televisi termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh Pemerintah tidak mau membayar biaya sewa kanal. Dan ini tidak sehat bagi industri penyiaran,” kata Ishadi.