Sabtu 23 Sep 2017 22:57 WIB

Penunjukan Nazaruddin Sebagai JC Dinilai Salahi Aturan MA

Muhammad Nazaruddin
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Muhammad Nazaruddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PDIP, Masinton Pasaribu, mengatakan, penetapan justice collaborator (JC) terhadap mantan anggota DPR, Mohammad Nazaruddin blunder KPK. Selain itu, keputusan lembaga antirasuah itu dinilai Masinton menyalahi aturan Mahkamah Agung yakni Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Apalagi mengingat Nazaruddin merupakan otak dari berbagai kasus korupsi dalam ratusan proyek pemerintah yang dikendalikan oleh Permai Grup, kelompok usaha yang didirikannya.

"Soal JC, dalam surat edaran itu sangat jelas, pemberian JC bukan untuk pelaku utama. Pemberian JC oleh KPK ke Nazarudin itu menyalahi surat edaran MA. Dari ratusan proyek yang menyeret Nazar, cuma satu diproses, anehnya diberi JC pula," kata Masinton dalam diskusi Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (23/9).

Apalagi, kata dia, setelah divonis dalam kasus Wisma Atlet, ia seringkali mendapat remisi yang mungkin dia peroleh dari statusnya sebagai JC. "Jadi yang seharusnya menjadi JC itu pelaku minoritas untuk mengungkap pelaku mayoritas. Kenapa ini justru pelaku mayoritas yang dijadikan JC," katanya.

Untuk itu ia meminta status JC yang melekat di Nazaruddin segera dicabut. Dengan begitu, KPK tidak menjadi bulan-bulanan publik lagi dan bisa mengungkap kasus-kasus yang melibatkan Nazaruddin dengan lebih maksimal.

KPK sendiri pernah menyatakanNazaruddin melalui grup Permai terlibat pada sekitar 163 proyek pemerintah. Nilai kerugian negaranya mencapai triliunan rupiah. Salah contohnya proyek kawasan olahraga terpadu Hambalang, Bogor yang merugikan negara lebih dari Rp 706 miliar.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, penunjukan Nazaruddin sebagai JC akan memberi persepsi jelek masyarakat terhadap KPK, lantaran koruptor kakap justru mendapat perlakuan khusus.

"Jangan jadikan dia JC, kalaupun dia beri data ya gunakan saja. Saya tidak sependapat, JC itu maksudnya untuk mencari ikan besar, big fish, kalau yang jadi JC big fish itu sendiri kan lucu," ucap Abdul Fickar.

Menurut Tama S Langkun, peneliti ICW, penunjukan JC kepada Nazaruddin tidak pada semua kasus yang melibatkan dirinya. Melainkan hanya pada kasus dimana dia sebagai pelaku minoritas. "Jadi tidak bisa dipukul rata dia sebagai JC, harus dipilah-pilah," katanya.

Tak hanya soal JC, aksi KPK dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) ikut menuai kritik. Pasalnya, OTT yang dilakukan oleh KPK jumlahnya terus meningkat. Hal ini menunjukkan sistem pencegahan yang juga menjadi fungsi di KPK tidak berjalan baik.

Menurut Masinton dalam OTT ini yang digunakan sebagai alat bukti adalah sadapan yang kemudian dijebak dan pelaku ditangkap. Apabila sistem pencegahan berjalan mestinya hal seperti ini bisa dihindari. Karena KPK dapat menjalankan fungsi supervisi terhadap kuasa anggaran, pelaksana lelang.

“Pemberantasan korupsi ini kan fokusnya mengembalikan kerugian negara sebesar-besarnya, bukan menghukum orang sebanyak banyaknya. Biaya yang dikeluarkan KPK dalam OTT tidak sebanding dengan kerugian negara yang bisa dikembalikan,” tegas Masinton.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement