REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sedikitnya 1.259 jiwa yang tinggal di sekitar Gunung Agung, Bali mengungsi dan jumlahnya terus bertambah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, jumlah penduduk di Kawasan Rawan Bencana 3 (KRB 3) sesuai radius yang ditetapkan terdapat 49.485 jiwa.
Pendudukk itu berasal dari enam desa di Kabupaten Karangasem yaitu Desa Jungutan Kecamatan Bebandem, Desa Buana Giri Kecamatan Bebandem, Desa Sebudi Kecamatan Selat, Desa Besakih Kecamatan Rendang, Desa Dukuh Kecamatan Kubu, dan Desa Ban Kecamatan Kubu. Pemerintah daerah Kabupaten Karangasem dan pemerintah daerah (pemda) Provinsi Bali masih menyiapkan sarana dan prasarana pengungsian. Titik pengungsian sudah ditetapkan.
Pendirian tenda, mandi cuci kaskus (MCK), dapur umum, logistik, kendaraan evakuasi, dan lainnya masih terus disiapkan oleh berbagai pihak, baik dari badan penanggulangan bencana daerah (BPBD), tentara nasional Indonesia (TNI), Polri, SKPD, palang merah Indonesia (PMI), relawan, dan lainnya. "Pendataan pengungsi terus dilakukan. Jumlah pengungsi terus bergerak naik," ujarnya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (21/9).
Meskipun kepala daerah setempat belum memerintahkan secara resmi mengungsi, tetapi pengungsi banyak dilakukan warga. Ia mengutip data sementara dari Pusdalops BPBD Provinsi Bali, saat ini terdapat 1.259 jiwa pengungsi, yaitu pertama pos pengungsian di Desa Les Buleleng, Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng terdapat 222 jiwa pengungsi yaitu 124 jiwa laki-laki dan 98 jiwa perempuan.
Mereka berasal dari empat dusun yaitu Dusun Pengalusan, Belong, Bunga dan Pucang. Kedua, Aula Kantor Desa Tembok Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng sebanyak 114 jiwa. Pegungsi dari Dusun Bahel Desa Dukuh Kecamatan Kubu. Ketiga, gudang milik Dewa Nyoman Rai Desa Tembok Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng sebanyak 42 jiwa. Mereka berasal dari Dusun Panda Sari Desa Dukuh Kecamatan Kubu.
Keempat, pengungsi mandiri di rumah warga atau kerabatnya sebanyak 23 jiwa di Desa Tembok Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng. Kelima, pengungsi mandiri di rumah warga di Desa Sambirenteng Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng sebanyak 18 jiwa. Enam, pos pengungsi GOR Swecaparu Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung sebanyak 378 jiwa pengungsi yang berasal dari Desa Sebudi Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.
Dari 378 jiwa, mereka berada di GOR Swecepu sebanyak 84 KK (327 jiwa) yaitu 143 jiwa pria dan 184 jiwa perempuan, dan 14 KK (51 jiwa, dimana 19 jiwa pria dan 32 jiwa perempuan). Mereka melakukan evakuasi mandiri dan tinggal di kerabatnya. Ketujuh, pos pengungsian Wantilan Pura Puseh Tebola Desa Sidemen Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem sebanyak 292 jiwa.
Pengungsi berasal dari Dusun Sebun dan Dusun Sogra. Delapan, pos Balai Banjar Desa Adat Sanggem, Desa Sangkan Kabupaten Karangasem sebanya 170 jiwa. Pengungsi berasal dari Banjar Dinas Yehe dan Sebudi. "Jumlah pengungsi terus bertambah mengingat belum semua data dilaporkan ke Pusdalops BPBD Bali," katanya.
Sebagian besar masyarakat mengungsi karena pengalaman masa lalu saat Gunung Agung meletus besar pada 1963. Tanda-tanda yang mereka rasakan saat ini, yaitu gempa vulkanik yang sering terjadi saat ini mirip dengan kejadian sebelum Gunung Agung meletus pada 1963. Letusan saat itu berlangsung hampir selama setahun yaitu 18 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Korban tercatat 1.148 orang meninggal dan 296 orang luka.
Menurut Sutopo, tidak mudah menangani pengungsi. Apalagi pengungsi dari erupsi gunungapi yang jumlahnya besar dan tidak diketahui pasti sampai kapan harus mengungsi karena sangat tergantung dari waktu letusannya. Saat ini sudah banyak tenda pengungsi didirikan. Namun umumnya warga mengungsi di tenda, tidak nyaman karena panas dan jika terjadi erupsi disertai hujan abu dan pasir, tenda dapat roboh seperti saat erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
Banjar atau balai desa adalah tempat pengungsian yang lebih nyaman. Begitu juga mengungsi di kerabat atau desa sekitarnya. "BNPB telah menyarankan agar dicari desa-desa di sekitarnya yang aman dan bisa menampung pengungsi," ujarnya.
Model ini dikenal sister village seperti yang banyak dikembangkan di sekitar Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia mengimbau masyarakat untuk tetap tenang. Ia mengklaim, pemerintah dan pemda bersama unsur lainnya pasti akan melindungi masyarakat. Saat ini masih terus disiapkan sarana dan prasarana di pos pengungsian. Prioritas pengungsian adalah kelompok rentan yaitu balita, ibu hamil, lanjut usia (lansia), dan disabilitas.