REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Narkotika Nasional (BNN) menargetkan untuk merehabilitasi 30 ribu orang. Namun, dari target itu, BNN menyatakan baru melakukan rehabilitasi sekitar 60 persen.
"Intinya kami merehab setiap tahun, tahun 2017 targetnya 30 ribu orang, tapi sampai sekarang baru mencapai sekitar 60 persen, 16 ribuanlah," ujar Direktur Pasca Rehabilitasi BNN Brigjen Budiyono di Kantor BNN Cawang, Jakarta Timur, Rabu (20/9).
Budiyono menyampaikan, terdapat empat hingga lima juta orang pernah menggunakan narkoba. Pengguna reguler berjumalah satu sampai dua juta orang. Pengguna reguler adalah pengguna yang membutuhkan rehabilitasi. Namun, yang mendatangi BNN untuk melakukan rehabilitasi disebut Budiyono masih sedikit sekali. "Karena stigma negatif di masyarakat," ujar dia.
Padahal, lanjut Budiyono, UU sudah menjamin masyarakat agar wajib melapor, bagi orang atau keluarga yang memiliki anggota keluarga pecandu. Dengan laporan itu pecandu bisa melapor dan direhabilitasi dengan gratis. Namun fasilitas tersebut belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat Indonesia.
"Rehab yang ada justru yang ditangkap oleh polisi. Ketika ia dinyatakan pecandu lalu direhab. Sehingga sangat sedikit, dari jutaan itu hanya puluhan ribu saja yang sudah kami rehab," kata Budiyono.
Budiyono menilai, masyarakat kerap merasa jika melapor merupakan aib. Muncul juga persepsi, jika melapor takut akan dilakukan penangkapan. "Padahal sudah dijamin UU, kalau pecandu itu adalah korban yang akan kami tolong. Kami sudah kerja sama lintas sektoral sosialisasikan ini," ujar dia.
Budiyono menambahkan, permasalahan rehabilitasi juga dialami BNN daerah Jawa, Papua, dan Medan memiliki populasi pengguna terbesar. Namun BNN juga mengalami kekurangan lembaga rehabilitasi.
"Sangat kekurangan lembaga rehab. Ini belum menjadi prioritas, padahal penting. Demand kontrolnya tidak ada, lapas pun permintaannya tinggi, karena di sana pasar. Jebol semua," ujar Budiyono.