REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mengumpulkan 187 Direktur Rumah Sakit (RS) pemerintah dan RS swasta di Kantor Dinas Kesehatan. Para pemilik kebijakan itu diminta berjanji tidak menolak pasien yang memiliki masalah administrasi terutama pasien gawat darurat.
"Kita melakukan perjanjian dengan seluruh RS di DKI baik swasta, vertikal, dan RS daerah untuk membuat perjanjian agar mereka tidak melanggar aturan, agar pasien gawat darurat segera mendapat tindakan tanpa meminta uang muka," kata Kepala Dinas Kesehatan Koesmedi Priharto kepada wartawan setelah membuka pertemuan dengan seluruh Direktur RS semua DKI Jakarta, di Ruang Auditorium, Lt. 2 Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Jumat (15/9).
Koesmedi mengatakan, selain untuk menekankan pihak RS untuk tidak memandang status sosial pasien, dipanggilnya seluruh Direktur RS itu sekaligus untuk mengingatkan bahwa sudah ada aturan dalam perundangan-undangan yang mengatur bagaimana melayani pasien dengan baik sesuai hak dan kewajibannya.
Peraturan UU yang mengatur hal itu di antaranya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU turunan lainnya seperti UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, UU No. 40 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
"Salah satunya untuk mengingatkan kembali, karena sebenarnya itu sudah tertera dalam UU. 187 RS kalau yang diwakili cuma paraf, hari Senin esok Direkturnya harus datang untuk tanda tangan," ujarnya.
Koesmedi berjanji, pihaknya, akan terus mendorong supaya setiap RS swasta terkoneksi dengan BPJS. Terkoneksinya RS swasta dengan BPJS bisa melindungi hak-hak pasien, yang diatur dalam Permenkes No. 28 tahun 2004 tentang Pedoman Pelayanan Program JKN, Permenkes No.52 tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan dan Perpres No.16 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No 12 tahun 2013 terang Jaminan Kesehatan.
"Untuk RS umum, RS vertikal pemerintahan yang diwakili itu wajib kerjasama BPJS. Saya hanya mengimbau RS swasta juga untuk segera bekerjasama dengan BPJS," katanya.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Susi Setiawati Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia mengatakan, rumah sakit swasta di seluruh Indonesia yang dikelola baik oleh PT, perorangan, dan yayasan ada sekitar 1720 RS. Dan yang sudah bekerjasama dengan BPJS ada sekitar 1250.
Jadi, kata dia, saat ini jika dipersentasikan RS swasta di Indonesia yang sudah bekerjasama baru mencapai 60 persen dari total 100 persen RS wajib bekerjasama dengan BPJS.
"Hal itu memang sudah sesuai Peratur Presiden No 12 tahun 2013, RS swasta dapat bekerjasama dengan BPJS," katanya.
Susi menuturkan pasar RS swasta di Jakarta sangat beragam mulai dari tingkat menengah sampai tingkat atas. Di Jakarta sendiri RS swasta ada 82 dan yang sudah berkerjasama dengan BPJS ada sekitar 56. Susi mengatakan, dengan beragamnya RS swasta di Jakarta maka beragam juga pangsa pasar masing-masing RS. Meski demikian rata-rata setiap RS swasta sudah menerima pasien emergency dengan segala peraturan dan komitmennya.
Namun yang perlu menjadi catatan, menurut Susi, bahwa setiap RS swasta wajib mentaati setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya RS swasta mesti menyediakan 5 persen ICU dari jumlah tempat tidur sesuai Permenkes 56 tahun 2014 tetang RS.
Selain itu yang menjadi lebih penting kata Susi kesedian RS pemerintah menerima pasien rujukan dari RS swasta. Karena selama ini banyak pasien yang tidak bisa ditangani RS swasta dan dirujuk ke rumah sakit swasta lainnya ditolak karena keterbatasan fasilitas dan lain sebagainya.
"Jadi semoga hal ini menjadi pemikiran bersama apakah RS pemerintah menambah jumlah kamar ICU," katanya.