Kamis 07 Sep 2017 03:00 WIB

'Kasus Pembunuhan Pegawai BNN Diduga Akibat Kekerasan Istri'

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Bilal Ramadhan
Kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (ilustrasi)
Foto: www.jkp3.apik-indonesia.net
Kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pembunuhan pegawai diklat Badan Narkotika Nasional (BNN) Indria Kameswari oleh suaminya, dikatakan Psikolog Forensik, Reza Indragiri bisa dikarenakan berbagai motif. Salah satunya akibat kekerasan verbal yang terlebih dahulu dilakukan oleh istri.

Dalam sebuah rumah tangga, tidak menutup kemungkinan bukan saja istri yang mengalami kekerasan, suami pun boleh jadi menjadi korban kekerasan namun ia tampung hingga akhirnya meluap, sehingga terjadilah perilaku sadis. Memang lebih sering terdengar pemberitaan tentang suami yang membunuh istri, dan istri yang mengalami kekerasan oleh suami kadang melampiaskan pada anak mereka, hingga membunuh si anak.

"Sayangnya, kita acap tidak cukup jauh berpikir bahwa kekerasan fisik lelaki bisa dilatarbelakangi oleh kekerasan verbal perempuan," ujar dia saat dihubungi Republika via whatsapp, Rabu (6/9).

Anggaplah laki-laki melakukan kekerasan fisik. Tapi, seberapa besar kemungkinan laki-laki bangun tidur sekonyong-konyong langsung menempeleng istri, kecuali jika si suami mabuk atau gila. Kemudian, kerisauan Reza muncul ketika selama ini selalu disebutkan, laki-laki adalah mayoritas pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Karena, di luar sana bisa daja banyak laki-laki atau para suami yang menjadi korban KDRT, tapi tidak melapor karena akan menjadi aib.

"Melapor malah membuka resiko mengalami secondary victimization, di-bully oleh penegak hukum maupun lembaga advokasi," ujar Reza.

Setiap pembunuh, siapa pun dia, dengan tegas Reza menyatakan, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Namun, sisi nyata dalam sekian banyak persidangan, terdakwa perempuan menggunakan 'battered woman/wife syndrome' sebagai pembelaan diri.

Lebih lanjut Reza menjelaskan, terdakwa tersebut mengatakan telah mengalami penghinaan, penistaan, dan penganiayaan yang sedemikian buruknya dari pasangan, hingga tidak mampu lagi berpikir secara rasional.

Dalam kondisi sedemikian terpuruk, tiada lain yang terpikir oleh para perempuan tersebut untuk membela diri dan keluar dari situasi pedih itu, kecuali dengan menghabisi pasangannya. Dan pada akhirnya, hakim bisa menjatuhkan vonis tak bersalah atau meringankan hukuman atas diri terdakwa, jika teryakinkan bahwa terdakwa betul-betul menderita 'battered woman/wife syndrome'.

Ini menjadi tidak adil bagi Reza, ketika alibi serupa diungkapkan oleh seorang suami yang menjadi korban kekerasan verbal, lalu menggunakan 'battered man/husband syndrome' untuk pembelaan diri di persidangan, tapi tidak diizinkan.

"Semestinya bisa saja. Toh hukum tidak diskriminatif. Toh para lelaki juga bisa terzalimi. Tapi siapakah kaum lanang yang bernyali membela diri dengan klaim tersebut?" kata Reza.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement