Kamis 31 Aug 2017 20:48 WIB

Petani Pati Mulai Kurangi Bahan Baku Garam Impor

Petani memanen garam di lahan tambak di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Sabtu (15/7).
Foto: ANTARA FOTO
Petani memanen garam di lahan tambak di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Sabtu (15/7).

REPUBLIKA.CO.ID, PATI -- Produsen garam konsumsi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mulai mengurangi pemakaian bahan baku garam impor. Penyebabnya, pasokan garam lokal mulai tersedia di pasaran untuk dikemas menjadi garam konsumsi.

Menurut pemilik UD Talenta Raya Pati, Sri Lestari, di Pati, Kamis (31/8), pasokan bahan baku garam lokal saat ini mulai tersedia, menyusul banyaknya petani garam lokal yang mulai memproduksi garam karena cuaca yang mendukung. Karena pasokan garam lokal tersedia, lanjut dia, kebutuhan bahan baku impor mulai dikurangi.

Garam impor yang digunakan sebelumnya, merupakan garam impor dari Australia dan India. Untuk garam dari Australia, kata dia, mulai didatangkan sejak bulan Maret 2017, sedangkan dari India mulai didatangkan sejak Juni 2017.

Hal itu, lanjut dia, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku setiap bulannya hingga 50 ton garam untuk diproduksi menjadi garam konsumsi. Tersedianya bahan baku garam lokal, katanya, mulai pekan ini tidak lagi menggunakan garam impor.

Ia mengakui, garam impor memang lebih putih dan bersih. Namun, konsumennya justru lebih senang dengan garam lokal yang tampil agak kecokelatan. Pasalnya, kata dia, garam impor memiliki rasa yang agak pahit, sedangkan garam lokal tidak demikian.

Meskipun sudah banyak petani yang mulai panen, katanya, harga jual garam di tingkat petani masih tinggi karena mencapai Rp 1.500 per kilogramnya. Pengusaha garam lainnya, Budi Satriyono mengakui, pasokan garam lokal memang mulai tersedia, namun kualitasnya kurang bagus.

Untuk dibuat garam halus sebagai garam konsumsi, katanya, masih kurang bagus. Mengingat, petani terlalu dini memanen demi mengejar keuntungan. "Seharusnya, ketika harga garam mahal, maka kualitasnya semakin meningkat. Kenyataan di lapangan justru kualitasnya menurun," ujarnya.

Ia mengakui, dalam proses produksinya hingga menjadi garam konsumsi, ternyata banyak kehilangan karena usia garam saat dipanen masih muda. Karena terlalu dini dipanen, kata dia, berdampak pada rendahnya kandungan NaCl.

Oleh karena itu, lanjut dia, sebagian bahan baku yang digunakan masih mendatangkan garam impor, karena kualitasnya saat ini masih lebih baik dibandingkan dengan garam lokal. "Berbeda, ketika petani bisa menghasilkan garam berkualitas, tentu akan banyak diminati industri garam," ujarnya.

Kebutuhan bahan baku untuk membuat garam konsumsi setiap harinya berkisar 20-25 ton.  Untuk harga garam tingkat petani, kata dia, berkisar Rp 1.600 hingga Rp 1.700 per kilogram sesuai dengan kualitasnya. Sementara harga jual garam impor, kata Budi, memang lebih mahal, karena mencapai Rp 2.500 per kilogram menyusul adanya kebijakan pemerintah untuk melindungi petani garam.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement