REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Kota hak asasi manusia (Kota HAM) di Indonesia masih terbilang sedikit di Indonesia. Menurut Direktur Operasional Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), Bahtiar Manurung, dari ratusan kota/kabupaten di seluruh Tanah Air, baru Bandung, Wonosobo, dan Palu yang berani mendeklarasikan diri sebagai “Kota HAM”.
“Tapi, ini bagus juga ada daerah yang berani mendeklarasikan sebagai Kota HAM,” ungkap HS Dillon, salah satu pendiri FIHRRST, saat diskusi media bertema Kota HAM di Jakarta, Senin (28/8). “Seharusnya lebih banyak lagi daerah yang melakukannya.”
Bahtiar menyatakan, Kota HAM menjadi salah satu perkembangan sangat penting akhir-akhir ini, terutama terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Konsep Kota HAM tidak saja menyatakan pengakuan atas penghormatan HAM, tetapi juga sebagai kerangka pelaksanaan penghormatan HAM oleh pemerintah daerah (pemda).
Tujuan Kota HAM, menurut Bahtiar, untuk menciptakan tata kelola HAM pada tataran pemerintah lokal. Tentu targetnya memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat berdasarkan norma dan standar HAM. “Terus bertambahnya Kota HAM sangat penting dalam merealisasikan pemenuhan HAM di seluruh dunia,” ujarnya.
Khusus di Indonesia, tujuan tercapainya Kota HAM mulai diperkenalkan di Indonesia sejak April 2015 bersamaan dengan peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan di Bandung. Saat itulah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mendeklarasikan komitmen Bandung sebagai Kota HAM.
Saat ini, jelas Bahtiar, yang akrab di Indonesia baru istilah Kota Ramah HAM. Mungkin yang seperti ini sudah banyak. Bahkan, sudah banyak daerah yang layak menyandang gelar Kota Ramah HAM. “Tapi, yang mendapatkan julukan Kota HAM baru tiga,” katanya.
Untuk merealisasikan komitmen tersebut, menurut Bahtiar, Pemerintah Kota Bandung bersama dengan Foundation for International Human Rights Reporting Standards dan Paguyuban HAM Fakultas Hukum Universitas Padjajaran telah menyelesaikan proses citizen-driven yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan Kota Bandung pada 2015. Hasil diskusi dengan pelibatan berbagai pemangku kepentingan dituangkan pada Piagam HAM Kota Bandung yang diluncurkan pada 10 Desember 2015.
Bahtiar menjelaskan, supaya Kota HAM menjadi kendaraan yang dapat mengantarkan ke tujuan pemenuhan HAM masyarakat perkotaan, perlu dibangun pemahaman bersama tentang pengertian dan proses penyusunan Kota HAM. FIHRRST pun telah menyediakan laman khusus HRRC yang menyajikan analisis mekanisme penyusunan Kota HAM yang ada di Indonesia dan di berbagai kota di negara lain, bersama dengan aspek-aspek utama yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah kota yang berkomitmen menjadi Kota HAM.
Kota HAM, jelas Dillon, bisa terwujud bila memenuhi tiga aspek penting. Pertama, terus membumikan pelaksanaan HAM dengan partisipasi masyarakat. Kedua, harus ada transparansi atau keterbukaan, terutama dari pemerintah. Aspek ketiga, yaitu harus ada peran serta yang benar atau bermakna dari seluruh komponen masyarakat. Bila ketiga aspek tersebut terpenuhi, akuntabilitas juga akan secara otomatis tercipta.
“Pelibatan masyarakat dalam penyusunan Kota HAM menjadi kesempatan bagi pemerintah kota untuk menyampaikan pesan pentingnya penghargaan atas hak-hak kaum minoritas mengingat masih adanya insiden intoleransi di beberapa kota di Indonesia saat ini,” jelas Dillon. “Semua harus mempunyai komitmen yang sama dan kepala daerah harus berani mendeklarasikan Kota HAM ini.”