Rabu 30 Aug 2017 01:00 WIB

Perjuangan Bukit Duri Memperoleh Keadilan

Jaya Suprana
Foto: yogi ardhi/republika
Jaya Suprana

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Jaya Suprana *)

Ternyata perjuangan warga Bukit Duri, Jakarta untuk memperoleh keadilan belum selesai. Pengadilan Tinggi PTUN menolak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang sebenarnya pada 9 Januari 2017 telah resmi memenangkan gugatan warga Bukit Duri.

Menurut informasi lembaga pejuang kemanusiaan Ciliwung Merdeka, pertimbangan Majelis Hakim PT PTUN telah mengadopsi sepenuhnya keberatan-keberatan yang disampaikan oleh Pemerintah Kota Jakarta Selatan, meski keberatan-keberatan dalam memori banding itu inkonsisten dan tidak berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.

Dikatakan bahwa SP 1, 2, dan 3 terbit telah sesuai dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8/2007 (Perda tentang Tibum) dan peraturan pelaksananya.

Berdasarkan Perda Tibum seharusnya Pemda DKI Jakarta sudah tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penertiban di wilayah sungai karena UU Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004) sebagai dasar kewenangan pemda dalam Perda Tibum telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan No. 085/PUU-XI/2013.

MK menyatakan UU SDA bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak dibacakan pada tanggal 18 Februari 2015. Dengan dibatalkannya UU SDA peraturan pelaksana di bawahnya juga dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Majelis Hakim tidak mau melihat dan mempertimbangkan lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan MK pembatalan UU SDA. Majelis Hakim tidak mau melihat apakah Pemkot Jakarta Selatan mempunyai wewenang untuk menerbitkan SP 1, 2, dan 3 dengan dasar hukum Perda Tibum.

SP diterbitkan dengan alasan pelanggaran Perda Ketertiban Umum. Namun, tindakan faktual atau tindakan di lapangan berbeda. Setelah SP 3 terbit satu minggu kemudian pada tanggal 28 September 2016 Pemkot Jakarta Selatan mengeksekusi dan menggusur warga Bukit Duri.

Setelah penggusuran selesai dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2016, Pemkot Jakarta Selatan menggunakan tanah-tanah warga untuk proyek normalisasi tanpa disertai penggantian yang layak.

Tindakan Pemkot Jakarta Selatan ini jelas melanggar prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik ("good governance") dan UU Administrasi Pemerintahan. UU Administrasi Pemerintah mewajibkan seluruh pejabat pemerintah untuk melakukan keputusan hukum harus sesuai dengan tindakan faktual dan tindakan hukum.

Normalisasi Ciliwung

Majelis Hakim tidak melihat dan mempertimbangkan pengakuan Pemkot Jakarta Selatan mengenai SP 1, 2, dan 3 diterbitkan untuk Normalisasi Kali Ciliwung. Program ini diakui sebagai program pembangunan kepentingan untuk umum.

Akan tetapi, Pemkot Jakarta Selatan menolak fakta hukum dan mengingkari tanggung jawab hukum yang timbul berdasarkan UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU No. 2/2012), Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan UUPA (UU Agraria Pasal 18).

Majelis Hakim menyetujui keberatan Pemkot Jakarta Selatan dengan mengatakan bahwa "para Penggugat/Terbanding ternyata tidak ada bukti berupa Sertifikat Hak Milik atas nama Para Penggugat/Terbanding dan karena Rumah/Bangunan berdiri di bantaran Kali Ciliwung. Menurut Majelis Hakim Banding sudah tepat dilakukan penertiban".

Pertimbangan ini dibuat oleh Majelis Hakim tanpa mempertimbangkan fakta di lapangan dan tanpa melihat pada dokumen perencanaan proyek Normalisasi Kali Ciliwung yang dibuat oleh BBWSCC (selaku pemilik proyek Normalisasi Kali Ciliwung).

Dalam dokumen Amdal dikatakan bahwa "tanah-tanah yang akan digunakan untuk proyek normalisasi Kali Ciliwung adalah tanah warga yang dimiliki secara turun temurun dengan bukti kepemilikan jual beli di bawah tangan, verponding Indonesia, dan akta jual beli".

Bukti-bukti kepemilikan warga Bukit Duri tersebut merupakan bukti hak milik atas tanah yang diakui oleh UU Agraria Diktum kedua Pasal II ayat (1) jo. Perpres No. 71/2012 Pasal 17 huruf (d).

Amdal mewajibkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan pembebasan lahan milik warga dengan mekanisme pengadaan tanah, yaitu UU No. 2/2012 jo. Perpres No. 71/2012.

"Arbitrary Power"

Majelis Hakim meyakini bahwa penerbitan SP sudah sesuai prosedur karena sudah ada sosialisasi akibat tidak melihat keterangan saksi penggugat dan saksi tergugat. Keempat saksi ini menegaskan bahwa SP diterbitkan tanpa sosialisasi dan pemberitahuan. Selama ini warga Bukit Duri tidak pernah diajak musyawarah.

Putusan PTTUN adalah sebuah bentuk putusan yang mencerminkan "rule by power" yang bertentangan dengan prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum. Tindakan Pemkot Jakarta Selatan dan Putusan PTTUN menggambarkan kenyataan kepemerintahan dilaksanakan berdasarkan "arbitrary power".

Sebagai seorang warga yang awam hukum, saya pribadi tidak berdaya apapun kecuali menulis naskah ini demi menyampaikan harapan bahwa pihak Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Istimewa Jakarta berkenan membantu warga Bukit Duri sebagai warga Kota Jakarta yang kebetulan jatuh sebagai korban penggusuran atas nama pembangunan untuk memperoleh keadilan sesuai dengan agenda pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati PBB sebagai pedoman pembangunan tanpa mengorbankan rakyat, hak asasi manusia maupun selaras dengan sila-sila Kemanusiaan Adil dan Beradab, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

*) Penulis adalah seniman dan budayawan, pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement