REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Widjatmoko mengatakan Simpang Susun Semanggi (SSS) bukan solusi tunggal untuk mengatasi kemacetan di area tersebut. Bahkan, Simpang Susun Semanggi bukanlah solusi permanen untuk menyelesaikan kemacetan di Semanggi.
"Solusi ini hanya bersifat sementara. Diperlukan solusi-solusi lain yang bersifat manajemen pergerakan atau TDM (Transport Demand Management)," kata Sigit, Ahad (27/8).
Dinas Perhubungan DKI Jakarta memprediksi kendaraan yang melintas di Semanggi akan semakin padat pada 2022. Sigit menuturkan Dishub DKI sudah melakukan analisis yang menghasilkan bahwa kecepatan rata-rata kendaraan yang melintas di Semanggi akan turun pada kurun lima tahun mendatang.
"Seiring dengan pertumbuhan kendaraan, dari 22 km per jam pada tahun 2017 hingga mencapai 9,7 km per jam di tahun 2022," kata dia.
Untuk itu, dia mengatakan, perlu manajemen pergerakan transportasi. TDM di antaranya pengoperasian sarana angkutan umum massal seperti kereta cepat (mass rapid transit/MRT) dan kereta ringan (light rapid transit/LRT), dan penerapan pembatasan Ialu lintas lewat mekanisme jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP).
Dishub DKI memprediksi pengoperasian MRT dan ERP di Semanggi akan membuat laju kendaraan di Semanggi dapat dipertahankan hingga mencapai 14 km per jam pada 2022. Hal itu, Sigit memprediksi, karena beralihnya pengguna kendaraaan pribadi ke angkutan umum massal, baik MRT maupun LRT, dan pembatasan kendaraan.
“Dapat mengurai kepadatan lalu lintas yang melintasi simpang susun Semanggi," kata dia.
Kendati hanya solusi sementara, Dishub mengklaim Simpang Susun Semanggi (SSS) dapat memangkas waktu tempuh dan meminimalisasi kemacetan di area tersebut sebanyak 30 persen. Sigit juga mengatakan, jalur lingkar Semanggi ini merupakan inovasi solusi dari sisi manajemen lalu lintas. Hal tersebut dilakukan yaitu dengan penghapusan titik konflik atau weaving yang terjadi di Semanggi.