Sabtu 26 Aug 2017 08:16 WIB

Sosiolog: Budaya "Ngapak" Lambangkan Sikap Egaliter

Peserta menampilkan kesenian Calung Banyumas saat mengikuti Kirab Kebangsaan HUT Taruna Merah Putih ke-9 di Jakarta, Ahad (9/4).
Foto: Republika/ Wihdan
Peserta menampilkan kesenian Calung Banyumas saat mengikuti Kirab Kebangsaan HUT Taruna Merah Putih ke-9 di Jakarta, Ahad (9/4).

REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Arie Sujito mengatakan budaya yang berkembang di Banyumas, Cilacap, dan sekitarnya dapat menjadi pelajaran berharga dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

"Pelajaran berharga bahwa masyarakat Indonesia itu ternyata masyarakat Indonesia itu mudah hidup rukun, tidak perlu bersengketa perbedaan etnis atau agama, karena praktik-praktik dalam keterbukaan membuat mereka makin cair," katanya di Desa Widarapayung, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat.

Arie mengatakan hal itu usai acara diskusi dengan Komunitas Padhang Bulan, Widarapayung, dalam rangkaian kegiatan pesta rakyat yang bertema "Rayakan Rame-Rame".

Menurut dia, masyarakat Banyumas, Cilacap, dan sekitarnya terkenal dengan bahasa "ngapak" yang lahir dari budaya egaliter di mana mereka mengakui kesetaraan anggota atau warganya.

Budaya egaliter tersebut terlihat dari karakter warga yang selalu bersikap berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, saling menghargai, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan yang diwujudkan melalui berbagai cara, bentuk ekspresi, dan kesenian-kesenian tertentu yang berkembang luas di seantero Banyumas.

"Egaliter adalah tradisi untuk tidak membedakan status sosialnya secara hirarki, dan tradisi ini juga punya kultur 'cablaka' yang selalu terbuka orangnya, blakblakan," ujarnya.

Lebih lanjut, Arie mengatakan konsep kebersamaan yang diekspresikan dalam tradisi egaliter merupakan kekuatan penting yang di beberapa tempat mulai punah.

Menurut dia, kegiatan yang digelar di Desa Widarapayung Wetan dengan melibatkan Komunitas Padhang Bulan dan masyarakat setempat sangat tepat dalam merevitalisasi sejarah yang memiliki tradisi positif seperti itu.

"Kalau kita tarik secara nasional, sebenarnya yang begini, begini (tradisi positif, red.), sangat relevan buat bangsa Indonesia. Bagaimana kebersamaan, keguyuban, tidak mendiskriminasi perbedaan, dan sebagainya itu modalitas yang perlu dikembangkan bangsa Indonesia," katanya.

Ia mengatakan berdasarkan pengamatan di sejumlah wilayah Indonesia, kultur adat masih dijunjung tinggi namun mengalami peminggiran praktik empirisnya.

"Padahal secara historis, mereka punya (tradisi yang menjunjung kebersamaan), tapi kadang-kadang kalau kita ngomong tentang pembangunan, tentang partisipasi, yang begitu, begitu, tidak dijadikan sebagai modalitas. Padahal kalau kita tahu misalnya konsep kebersamaan akan bisa mengalahkan dimensi-dimensi pragmatis," katanya.

Dalam hal ini, Arie mencontohkan pendekatan yang terjadi saat sekarang sering kali harus dengan uang.

"Padahal sebenarnya banyak sikap-sikap kebersamaan yang letaknya itu pada bagaimana membangun nilai bersama. Nah, nilai bersama itu yang mahal. Apa yang dialami di Banyumas, ya mestinya dikembangkan untuk pemerintah daerah, buat masyarakat secara umum, misalnya Jawa Tengah, untuk menggambarkan tentang modalitas itu perlu dirawat," katanya.

Sementara itu, Ketua RT 12 RW 03 Desa Widarapayung Wetan Satirun Safrudin Usman mengatakan Komunitas Padhang Bulan terlahir atas dasar kebersamaan.

Menurut dia, kebersamaan merupakan salah satu nilai penting yang selalu dijunjung tinggi.

"Dalam berbagai aktivitas, terutama yang melibatkan komunitas, proses diskusi atau rembukan selalu diutamakan demi kepentingan bersama. Akhirnya, masyarakat menjadi saling menghargai serta bahu-membahu satu sama lain," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement