Kamis 24 Aug 2017 15:38 WIB

Menguji Keberpihakan Daerah Terkait Subsidi SMA/SMK

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan didampingi Kepala Dinas Pendidikan Jabar H Ahmad Hadadi saat berdialog dengan siswa SMA, belum lama ini.
Foto: Dok Humas Jabar
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan didampingi Kepala Dinas Pendidikan Jabar H Ahmad Hadadi saat berdialog dengan siswa SMA, belum lama ini.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Bergulirnya Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, mengharuskan pengelolaan SMA dan SMK menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi (Pemprov). Undang-undang itu efektif diberlakukan mulai 2017.

Dalam UU 23/2014, dijelaskan, pengelolaan manajemen pendidikan menengah dan pendidikan khusus menjadi kewenangan pemprov. Sebelumnya, pengelolaan SMA dan SMK ditangani oleh pemerintah kabupaten/kota, mulai dari manajemen pendidikan, aset, penggajian dan lainnya.

Khusus di Provinsi Jabar, terdapat 20.093 guru SMA dan SMK honorer yang ditanggung oleh Pemprov Jabar penggajiannya. Saat ini, jumlah SMA di Provinsi Jabar mencapai 1.450 lembaga, yang terdiri dari SMA swasta 974 dan SMA negeri 476. Sementara jumlah SMK di Provinsi Jabar mencapai 2.519 lembaga yang terdiri dari 273 SMK negeri dan 2.246 SMK swasta.

Dengan demikian, total jumlah SMA dan SMK di Provinsi Jabar mencapai 3.969 lembaga. Dari jumlah itu, terdapat 18.261 ruang kelas SMA dan 25.662 ruang kelas SMK. Ruang kelas itu yang selama ini digunakan kegiatan belajar mengajar 47.373 rombongan belajar (rombel).

Memasuki bulan ke-8 (Agustus 2017), Pemprov Jabar mulai mendeteksi potensi permasalahan dalam mengelola SMA dan SMK. Potensi persoalan itu berasal dari sisi pembiayaan. Sejak beralihnya kewenangan pengelolaan, sejumlah pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Jabar menarik dana subsidi pendidikan untuk jenjang SMA dan SMK.

Alasannya, pemkab dan pemkot tidak merasa wajib menyubsidi pendidikan tingkat SMA dan SMK karena telah menjadi kewenangan Pemprov Jabar. Hanya ada beberapa pemkab dan pemkot yang masih konsisten mengalokasikan dana subsidi pendidikan untuk siswa SMA dan SMK pada APBD 2017. Di antaranya Pemkab Bekasi senilai Rp 99,3 miliar, Pemkot Banjar Rp 2,3 miliar, dan Pemkab Pangandaran Rp 3,9 miliar.

Pemkab dan pemkot yang masih mengalokasikan dana subsidi pendidikan itu merasa wajib menopang kegiatan pendidikan warganya. Sebab, sekalipun kewenangan pengelolaan SMA dan SMK beralih ke Pemprov Jabar, namun para pengeyam pendidikannya masih warga kabupaten/kota terkait.

Letupan protes atas penarikan subsidi pendidikan itu mulai mencuat di Kota Depok. Orang tua siswa yang tergabung dalam Persatuan Orang Tua Siwa Kota Depok (Poskade) sempat berunjuk rasa ke DPRD Kota Depok, belum lama ini. Poskade meminta subsidi pendidikan untuk SMA dan SMK tidak ditarik pascapelimpahan kewenangan ke Pemprov Jabar.

Sebelum beralihnya kewenangan pengelolaan SMA dan SMK, biaya subsidi pendidikan ditopang oleh APBD kabupaten/kota, APBD Provinsi Jabar dan APBN. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar H Ahmad Hadadi menyatakan, sekalipun kewenangan pengelolaan pendidikan beralih ke Pemprov Jabar, bukan berarti pemkab dan pemkot tidak boleh memberikan subsidi bagi SMA dan SMK di daerahnya.

Dalam pasal 46 Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan, sumber biaya pendidikan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Klausul pemerintah daerah pada pasal itu, sebut dia, yakni pemprov, pemkab dan pemkot.

Diakui Hadadi, saat pengelolaan SMA dan SMK masih menjadi kewenangan kota dan kabupaten, subsidi pendidikan dari pemkab dan pemkot relatif lebih besar. Rata-rata, ungkap dia, pemkab dan pemkot mengalokasikan bantuan operasional sekolah (BOS) di atas Rp 100 ribu per siswa untuk satu bulan. Sementara dari subsidi berupa Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) dari APBD Jabar berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu per siswa untuk setahun. 

Para siswa pun mendapatkan BOS dari APBN senilai Rp 1,4 juta per siswa dalam setahun. Jika melihat struktur pembiayaan pendidikan tersebut, kata Hadadi, maka selama ini subsidi pendidikan lebih didominasi oleh pemkab dan pemkot.

‘’Jika mengacu pada undang-undang pendidikan, APBD kabupaten dan kota pun menjadi sumber pembiayaan pendidikan,’’ ujar Hadadi. Namun demikian, tegas dia, untuk subsidi pendidikan tingkat SMA dan SMK, lebih tergantung pada political will pemerintahan daerah setempat.

Pihaknya mengaku sudah menyosialisasikan potensi permasalahan tersebut dengan pemkab dan pemkot di Provinsi Jabar. Pihaknya mengaku tidak bisa memaksa pemkab dan pemkot untuk tetap mengalokasikan dana BOS untuk tingkat SMA dan SMK.

Hadadi menegaskan, dalam UU 20/2003, APBD kabupaten dan kota menjadi instrumen sumber pembiayaan untuk kegiatan pendidikan tingkat SMA dan SMK. Terlebih lagi, tegas dia, sejak beberapa tahun lalu, struktur anggaran pendidikan di tingkat kabupaten dan kota sudah mencapai 20 persen dari APBD-nya.

Diakui Hadadi, APBD Provinsi Jabar tidak memadai jika harus menutupi kekosongan subsidi pendidikan yang dihentikan oleh pemkab dan pemkot. Sekalipun, papar dia, pihaknya telah meningkatkan mengalokasikan dana subsidi pendidikan dari Rp 600 miliar menjadi Rp 1,6 triliun di tahun 2017.

Jika membaca fenomena tersebut, maka jelas bahwa subsidi pendidikan dari APBD kabupaten dan kota tergantung pada political will pemerintahan kabupaten/kota. Pihaknya berharap, pemerintahan kabupaten dan kota tetap konsisten menyubsidi SMK dan SMA sesuai UU 20/2003.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement