REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Anton Sihombing tetap berharap pembangunan gedung untuk DPR bisa dilakukan. Hal ini menyusul peluang terganjalnya rencana pembangunan gedung DPR, lantaran moratorium atau penangguhan pembangunan gedung baru oleh Pemerintah pada 2018.
Anton justru membandingkan lembaga lain yang mendapat persetujuan pembangunan gedung baru. "BPK dapat, KPK dapat, MA dapat," ujar Anton di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (16/8).
Menurutnya, sesuai realitas kebutuhannya pembangunan gedung DPR memang perlu dilakukan. "Bukan soal adil. Ini realitas kebutuhan karena sudah overload. Baru kalau ambruk ada yang meninggal, aduh," ujar Anton.
Sebab, Gedung Nusantara I DPR yang kini menjadi ruang kerja anggota Dewan saat ini kondisinya memang telah retak dan bergeser. Terkait kondisi gedung tersebut, juga telah diaudit oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
"Sudah disampaikan, audit sudah dua kali. Sudah retak bergeser. Apa wajar kita duduk di sana udah retak geser," ungkapnya.
Ia juga mengungkap pembangunan gedung tahap awal menelan biaya sekitar Rp 320,44 miliar dari anggaran yang diajukan DPR untuk tahun 2018 yakni Rp 5,7 Triliun. Selain itu, ada juga untuk pembangunan alun-alun demokrasi sebesar Rp 280 miliar.
"Rp 320,44 miliar kalau untuk gedung. Untuk alun-alun demokrasi Rp 280 miliar. Jadi semua itu Rp 601 miliar, di (pagu anggaran) 2018 dong. Kan pagu indikatif kita kan Rp 5,7 Triliun ya dari situ. 5,7 itu," ujarnya.
Selain itu, ia juga mengungkap pembangunan gedung bersifat multiyears. Sementara untuk rencana pembangunan apartemen, belum ada.
"Belum ada, di kuping saya belum," ujarnya.