Sabtu 12 Aug 2017 00:25 WIB

Catatan Pulang Kampung - 8

Shamsi Ali, Imam Masjid Al-Hikmah, New York
Foto: Fian Firatmaja
Shamsi Ali, Imam Masjid Al-Hikmah, New York

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Imam Shamsi Ali *)

Demikianlah pagi itu saya serasa tergesa-gesa menyampaikan kuliah umum. Di satu sisi banyak hal yang ingin saya sampaikan. Di sisi lain Mba Peggy Melati Sukma yang bersama saya selama perjalanan kali ini memberikan bata waktu, jika saya hanya punya waktu tidak lebih dari 20 menit menyampaikan materi. Hal itu karena acara selanjutnya di Semarang pagi itu segera dimulai pada pukul 11.00 WIB. Sehingga, kami harus meninggalkan Universitas Wahid Hasyim minimal pukul 10 pagi. Alhamdulillah, terbiasa dengan penyampaian poin per poin, saya akhirnya berhasil menyampaikan beberapa poin yang saya anggap relevan dan penting pagi itu. Poin-poin itu telah saya tuliskan pada seri sebelumnya (ketujuh).

Poin terakhir yang saya sampaikan di kuliah umum di Universitas Wahid Hasyim pagi itu adalah bahwa dunia kita saat ini mengalami perubahan drastis yang sangat luar biasa. Perubahan ini menuntut kejelian umat untuk melakukan antisipasi yang relevan. Karena sesungguhnya di hadapan  umat ini hanya ada dua pilihan. Menjadi penonton yang terkadang berpura-pura pintar menilai, terkadang senang, tapi juga terkadang marah dan kecewa. Atau sebaliknya ikut mengambil bagian menjadi pemain, sehingga ikut menentukan warna dunia kita ke depan. Dan yakinkah yang pertama menjadi pilihannya maka umat ini hanya akan menjadi korban perubahan dunia. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah menjadi bulan-bulanan atau mainan para pemain (aktor) dunia kita saat ini.

Situasi umat saat ini seolah pembuktian dari prediksi Rasul ketika mengetakan: "akan datang suatu masa di mana umat ini akan menjadi seperti busa di tengah lautan yang bergerak sesuai arah angin". Umat saat ini memang bagaikan obyek yang tidak punya posisi (stand). Bergerak sesuai pergerakan kepentingan orang lain.

Salah satu bentuk perubahan besar dunia kita saat ini adalah terjadinya proses globalisasi yang dahsyat. Hal ini menjadikan semua manusia seolah hidup dalam sebuah perkampungan kecil (small village). Dunia yang seperti inilah yang dikenal sebagai dunia global. Dunia yang ditandai oleh miminal tiga karakter terpenting.

Pertama, kecepatan yang luar biasa. Dengan kemajuan teknologi khususnya di bidang transportasi dan telekomunukasi, segala sesuatu mengalami kecepatan yang maha dahsyat. Sebuah kejadian atau peristiwa di sebuah kampung terpencil di Indonesia akan diketahui oleh masyarakat di kota dunia New York dalam sekejap. Media sosial dalam berbagai bentuknya, facebook, twitter, IG, path, dan lain-lain menjadikan transfer informasi secepat kedipan mata.

Kedua, saling tergantung antara satu dan kainnya yang kuat. Hal ini dikenal dalam bahasa lain dengan "interdependence" atau juga "interconnectedness". Kecepatan dunia transportasi dan telekomunikasi (informasi) dengan sendirinya menjadikan dunia kita, seperti yang saya sebutkan tadi, semakin menyempit. Batas-batas antar manusia atau kelompok manusia semakin menipis. Bahkan dengan keterbukaan media, khususnya media sosial, menjadikan batas-batas itu hampir tidak ada lagi. Dengan kata lain, dalam dunia yang seperti inilah sesungguhnya kita bagaikan hidup dalam sebuah rumah yang sama. Rumah kehidupan, rumah dunia kita bersama. Dan karenanya manusia menjadi saling terikat dan tergantung antara satu dan lainnya.

Ketiga, persaingan yang super ketat. Keterbukaan hidup manusia menjadikan manusia membuka mata akan setiap kejadian pada manusia lainnya. Dan karenanya kegagalan, atau sebaliknya keberhasilan sesama manusia di sekitarnya menjadi sesuatu yang seolah menyentuh semua manusia. Kemajuan sebuah negara seringkali menjadi keresahan negara yang lain. Dan karenanya setiap negara berusaha menjadi negara yang paling kuat, paling besar. Persaingan inilah yang kerap kali menjadikan manusia di saat kehilangan etika dan moralitas menjadi buas. Perhatikan kehidupan dunia kita dalam segala lini kehidupan saat ini. Manusia lemah menjadi mangsa bagi mereka yang kuat.

Ketiga karakteristik dunia global ini bukanlah sesuatu yang baru, apalagi asing dalam ajaran Islam. Semuanya sudah menjadi bagian mendasar dari ajaran ini sejak awal kedatangan risalah Islam.

Ayat-ayat Alquran penuh dengan perintah bergegas, bercepat, dan menjadi pemenang. Ayat Alquran seperti: "dan bergegaslah kamu semua kepada ampuan Tuhanmu dan kepada syurga, yang luasnya seluas langit dan bumi yang dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa" (Al Imran).

Atau ayat: "dan untuk itu (kebaikan) hendaknya orang-orang yang berlomba saling berlomba (untuk menang)".

Salah satu hal terpenting dari karakter cepat ini adalah kecepatan dalam menangkap peluang dunia global. Mungkin sebagai contoh saja, betapa umat ini sering kalah cepat dalam menangkap peluang itu. Bahkan di kandang sendiri. Bangsa Cina menangkap cepat bahwa Makkah menjadi pusat kunjungan berjuta-juta manusia sepanjang tahunnya. Instink ekonomi mereka bergerak cepat. Merekapun memproduksi kebutuhan-kebutuhan pengunjung itu, bahkan yang bernuansa agama. Termasuk di antaranya tasbih, sajadah, bahkan ada informasi mereka akan mencetak Alquran dan dipasarkan di Mekah. Inilah kecepatan dunia global yang merasuki jantung dunia Islam sekalipun.

Ayat-ayat yang memerintahkan umat ini untuk bangkit dan mampu bersaing juga bukan baru dan asing. Perintah "berlomba dalam kebaikan" sekaligus perintah untuk siap bersaing dalam kebaikan (dalan membangun peradaban). Hanya saja persaingan orang-orang yang beriman itu adalah persaingan yang beradab. Persaingan yang dibangun di atas nilai-nilai kebenaran dan etika. Sehingga pada akhirnya persaingan itu tidak pernah dengan "cara" maupun untuk "tujuan" negatif. Kemenangan orang-orang beriman itu tidak dimaksudkan sebagai "kebahagiaan di atas penderitaan orang lain". Kemenangan orang-orang beriman itu hakekatnya adalah kemenangan untuk semua. Karena sejatinya Islam adalah "rahmatan lil-alamin".

Demikian pula ayat-ayat tentang saling ketergantungan (interconnectedness) antar manusia dalam Alquran juga bukan hal baru. Perintah "saling mengenal" (ta'aruf) dalam rangka "saling memahami" (tafahum), demi terwujudnya "saling menghormati" menuju kepada terwujudnya "saling kerjasama" (ta'awun) merupakan kristalisasi dari karakter dunia global ini. Bahwa dalam dunia global saat ini tiada satu orang atau satu kelompok manusia yang bisa hidup tanpa orang lain di sekitarnya. Dan ini pula karakter dasar kehidupan jama'i dalam Islam menuju kepada terbangunnya ketakwaan kolektif. Ketakwaan kolektif inilah yang didefenisikan dalam Alquran sebagai: "baldatun thoyyibah wa Rabbun Ghafuur".

Atas pertimbangan di atas itulah Nusantara Foundation dan Universitas Wahid Hasyim menanda tangani MOU, rencana kerjasama dalam bidang pendidikan dan dakwah. Tujuan terutama adalah menyambut realita globalisasi dan kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia harus mampu menampilkan Islam yang otentik. Islam yang didefenisikan oleh pemeluknya berdasarkan Alquran dan As-Sunnah, melalui karakter kemanusiaan Nusantara yang tersenyum.

Kesadaran tanggung jawab besar inilah sesungguhnya yang saya sadari bahwa eksistensi pejuang dakwah di Amerika menjadi sebuah tanggung jawab besar. Bagaimanapun juga Amerika adalah negara adi daya dengan sayap nenebar di seluruh penjuru dunia. Amerika menjadi pusat perhatian dunia, baik dalam hal-hal positif dan juga negatif. Amerika mampu memberikan warna kepada dunia sesuai keinginannya. Dan karenanya kami komunitas Muslim harus menjadi bagian dari Amerika di dalam proses mewarnai dunia itu. Apapagi  menyadari bahwa  usaha dakwah global ini memang dirintis dari kota New York, ibu kota dunia. Tidaklah berlebihan sebagaimana sering saya sampaikan di mana-mana bahwa sesuatu yang kecil dari kota New York akan berdampak besar di mana-mana.

Sebelum acara dimulai, ada satu hal lain yang menarik perhatian saya pagi itu. Pernyataan rektor Universitas Wahid Hasyim bahwa hingga saat ini belum ada koleksi bukti-bukti sejarah masuknya Islam di Nusantara yang dibawa oleh Walisongo. Padahal Nusantara ini boleh jadi memberikan kejutan-kejutan sejarah agama dunia. Dan karenanya menjadi sangat vital untuk mendokumentasikan sejarah Islam di Nusantara ini.

Mendengar itu saya teringat Amerika. Betapa Amerika menghormati setiap langkah perjalananan sejarah bangsanya. Dan dari kepedulian sejarah itulah Amerika terkadang mampu membentuk opini manusia, mengarahkan warna mind-set manusia dalam melihat bangsa itu. Ambillah sebagai misal, peristiw 9/11. Saat ini di Ground Zero dibangun dokumentasi sejarah dalam bentuk museum WTC. Dan karenanya lokasi peristiwa itu menjadi sebuah catatan sejarah penting dalam perjalanan bangsa Amrika. Bahkan saat ini menjadi destinasi turisme terpenting di New York, bahkan di Amerika.

Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia? Bagaimana dengan umat Islam Indonesia? Ingat, mereka yang peduli sejarah akan menentukan warna perjalanan bangsa ke depan. Khawatirnya peranan umat Islam dalam proses kemerdekaan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaab itu dikesampingkan oleh dunia karena terjadi pengaburan sejarah. Bahkan lebih tragis lagi seringkali peranan umat terkuburkan, bahkan terbalik seolah menjadi oposisi bagi negara dan bangsa karena pembalikan sejarah itu. Semoga saja tidak.

Acara di Universitas Wahid Hasyim itu singkat, padat tapi berkualitas. Penyambutan yang luar biasa, dan semangat mendengarkan paparan tentang dakwah di Amerika juga sangat luar biasa. Saya pun meninggalkan kampus itu dengan hati riang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement