Sabtu 12 Aug 2017 00:25 WIB

Catatan Pulang Kampung - 8

Shamsi Ali, Imam Masjid Al-Hikmah, New York
Foto:

Bisnis itu berkah

Acara saya selanjutnya adalah pengajian di sebuah rumah seorang pengusaha muda yang sukses di Semarang. Pak Budi, demikian beliau dipanggil adalah seorang pengusaha multi bidang di kota ini. Dari real state, hingga ke pompa bensin menjadi ladang usaha beliau. Isteri beliau juga adalah seorang dokter gigi dengan sebelas klinik di Semarang.

Pak Budilah sesungguhnya yang menfasilitasi perjalanan kami selama di Semarang. Bahkan seperti yang disebutkan sebelumnya beliau bahkan mengirimkan dua mobil ke bandara untuk menjemput. Padahal universitas Wahid Hasyim telah juga menyiapkan penjemputannya.

Paparan saya siang itu masih seputar "halal bihalal" dan bagaimana seharusnya puasa membawa dampak positif dalam kehidupan manusia. Bahwa ibadah puasa jangan sampai sekedar rutinitas tahunan yang hampa. Perayaan demi perayaan di akhir Ramadan (Idul Fitri) jangan sampai menjadi sekedar tradisi tahunan yang hampa dari nilai positif dalam hidup.

Karena acara itu juga menjadi bagian dari peluncuran buku kami (ditulis bersama Mba Peggy Melati) "Kuketuk hati dari kota judi", maka saya juga banyak berbicara tentang perkembangan Islam dan dakwah di Amerika. Singkatnya saya sampaikan cerita-cerita tentang dakwah, manis pahitnya, hingga kepada perjuangan para muallaf di Amerika. Saya ceramah hari itu dengan menyampaikan keanehan yang terjadi. Bahwa di Amerika, bahkan dunia saat ini terjadi paradoks yang nyata. Islam diobok-obok, dibenci, disalah pahami, tapi Islam juga menjadi agama dengan pertumbuhan tertinggi di dunia. Semakin ditekan Islam itu semakin bangkit.

Oleh karenanya, umat jangan terlalu peduli dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Karena upaya dan prilaku buruk itu secara alami berjalan di samping upaya dan prilaku kebaikan. Di mana ada malaikat, di situ ada syetannya. Tapi percayalah syetan-syetan itu akan berputus asa dari hamba-hamba yang pada dirinya tumbuh bara iman dan ketakwaan.

Demikianlah hari itu saya berpindah dari satu acara ke acara lainnya. Hitung-hitung dari pagi hingga malam saya memberikan ceramah di lima tempat. Santainya adalah karena rata-rata di setiap tempat itu tema yang diinginkan oleh jamaah adalah cerita-cerita ringan dari perjalanan dakwah dan perkembangan Islam di Amerika.

Dan saya bersyukur bisa ketemu dan kenalan dengan pak Budi. Sosok pebisnis yang insya Allah mendekati karakter "rijaalun laa tulhiihim tijaaratun wa laa bae'un an zikrillah" (orang-orang yang tidak dijadikan lupa oleh bisnis dan transaksi dunia dari mengingat Allah". Saya belajar bahwa dunia bukanlah musuh. Mencari dunia bukan pula alasan untuk lupa mengingat Allah  dan agama. Justeru kepemilikan dunia bisa menjadi jembatan yang solid dalam perburuan menuju syurga-Nya.

Satu lagi cerita menarik sekaligus mengusik hati saya di hari pertama di Semarang. Di sebuah acara saya bertemu dengan seseorang yang menurutnya adalah salah seorang yang menjadi penanggung jawab undangan seorang ustaz ke Semarang beberapa hari sebelumnya. Intinya beliau mengeluhkan penolakan ustadz tersebut oleh sekelompok tertentu di Semarang.

Menanggapi itu saya tidak banyak komentar. Selain karena saya tidak tahu persis apa dan bagaimana di balik dari peristiwa itu. Juga karena khawatir memberikan komentar tanpa informasi yang tuntas justeru hanya semakin memperkeruh suasana. Saya hanya menitipkan pesan singkat: "Ukhuwah Islamiyah dalam tatanan ukhuwah wathoniyah, bahkan ukhuwah basyariyah" seharusnya tetap dijaga. Sebagai umat Islam kita percaya bahwa tuntunan kita dalam beragama adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Tapi sebagai bangsa Indonesia pijakan kehidupan berbangsa kita adalah Pancasila dan UUD 45. Kedua tuntunan itu tidak perlu dipertentangkan karena senyawa dan sejalan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.

Yang justeru perlu dikhawatirkan adalah upaya-upaya menjauhkan bangsa Indonesia dari agama (agama apa saja). Karena jika itu terjadi maka itulah bentuk destruksi dan pengkhianatan nyata kepada dasar negara, Pancasila, bahkan negara dan bangsa itu sendiri. Bukankah dasar pertama dari falsafah negara dan bangsa adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Nusantara dan agama itu bagaikan  jasad dan nyawa. Karenanya tanpa agama Nusantara itu mengalami mati suri. Pembangunan fisik tanpa agama (jiwa) itu tidak sejalan dengan semangat dasar negara. Dan karenanya sejarah Nusantara dari dulu selalu identik dengan kerajaan keagamaan. Sisa-sisa sejarah itu tetap terjaga hingga kini. Candi Borobudur, Prambanan, dan lain-lain menjadi saksi sejarah yang masih hidup.

Maka secara khusus kepada umat Islam, selama masih merujuk kepada kedua sumber agama Islam tadi (Al-Quran dan As-Sunnah) dalam beragama, dan konsisten dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai pijakan dalam berbangsa dan bernegara, tidak ada alasan untuk merusak kesatuan dan ukhuwah itu.

Akhirnya, hendaknya pula disadari bahwa kemungkinan yang sering terjadi adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran dalam memahami keduanya. Baik dalam memahami makna Islam, maupun makna Pancasila sebagai dasar negara. Dan karenanya proses komunikasi menjadi penting untuk terus menerus dibangun. Semoga!

Malam itu kami istirahat pulas. Selain karena memang kurang tidur malam sebelumnya, juga karena aktifitas seharian yang cukup menguras energi. Selain itu karena keesokan subuh harinya kami akan melakukan perjalanan keluar dari kota Semarang ke kota Pati. (Bersambung).

New York, 9 Agustus 2017

* Presiden Nusantara Foundation

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement