Rabu 02 Aug 2017 01:03 WIB

Catatan Pulang Kampung - 6

Imam Masjid Al Hikmah New York, Imam Shamsi Ali.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Imam Masjid Al Hikmah New York, Imam Shamsi Ali.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Ahad, 9 Juli, saya mendarat di kota pahlawan, Surabaya, ibukota Jawa Timur. Ini kali kedua saya mengunjungi kota ini. Pertama kali saya berkunjung ke kota ini pada 1986, di saat saya transit menuju Jogjakarta untuk mengikuti kejuaraan seni bela diri se-Indonesia.

Mendarat di kota ini, seolah mengembalikan memori masa lalu. Untuk kedua kalinya ke luar dari kampung halaman, masuk ke daerah Jawa, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri masa itu. Maklum kata "jawa" seolah representasi dari negara Indonesia itu sendiri. Menguasai Jawa seolah menguasai Indonesia. Presiden pun secara hukum tak tertulis haruslah orang Jawa. Maka, ketika seseorang dari pulau lain sempat berkunjung ke bagian Nusantara ini, dengan sendirinya menjadi simbol sosial tertentu.

Keluar dari Kota Makassar dengan kapal laut, selain karena pertimbangan ekonomi, juga karena bagi saya lebih menarik dan menyenangkan ketimbang dari pesawat. Perjalanan memakan waktu sehari semalam dari kota 'Angin Mammiri' ke 'kota pahlawan' ini menyimpan kenangan tersendiri. Dengan kelas ekonomi di kapal itu kita bisa bertemu dan berkenalan dengan banyak orang. Di sore atau pagi hari penumpang bisa menikmati keindahan laut, khususnya di saat matahari terbit atau tenggelam.

Ah masa lalu yang indah!

Dalam perjalanan ini saya memang ditemani oleh seorang saudari saya, yang saya kagumi karena semangat juang dan komitmen dakwahnya. Ustazah Peggy Melati Sukma adalah sosok daiyah dan inspirator yang sangat populer. Jadwal kami di Surabaya cukup padat.

Semalam sebelumnya, tiba-tiba, saya mendapat telpon dari seorang kiai di Sampang Madura. Meminta dengan sangat sekiranya saya bisa menyempatkan diri hadir di acara penamatan santri-santri di pesantrennya. Saya terkejut dari mana beliau mengetahui kalau saya akan ke Surabaya? Ternyata Mba Peggy memang dijadwalkan untuk memberikan ceramah di acara penamatan itu sebelum bergabung dengan saya.

Mungkin dari beliaulah sehingga khalayak mengetahui kalau saya akan ke Surabaya. Dan pak kiai itu berharap sangat jika saya juga bisa hadir di acara penamatan santri-santri beliau. Sayang, acara itu dimulai jam 10-an pagi. Sementara pesawat saya dari Makassar mendarat di Surabaya jam 11-an. Maka sayapun terpaksa meminta maaf belum bisa memenuhi undangan sang kiai.

Komunikasi dakwah

Acara pertama saya siang itu adalah memberikan presentasi tentang perkembangan dakwah di Amerika di sebuah institusi dakwah di Surabaya. Kalau tidak salah institusi itu bernama Lembaga Komunikasi Dakwah Islam.

Memasuki institusi itu saya merasa sangat relevan. Saya dan materi yang rencananya saya sampaikan serasa menemukan habitat yang pas. Maklum karena selama ini salah satu permasalahan dakwah yang saya rasakan cukup pelik adalah masalah komunikasi dakwah itu sendiri.

Dakwah itu adalah konsensus kewajiban umat. Artinya, menyampaikan agama ini adalah kewajiban kolektif semua anggota umat. Tentu dengan cara dan kapasitas masing-masing. Di sini perlu saya tekankan, menyampaikan dan bukan mengislamkan. Sebab ada saja kekeliruan besar di benak sebagian orang Islam, dan juga non Muslim. Seolah menyampaikan yang dalam bahasa lainnya "tablig" adalah mengislamkan. Padahal tidak seoarangpun yang mampu melakukan itu. Hidayah adalah hak mutlak Pencipta manusia.

Bukankah Muhammad SAW tidak mampu mengislamkan pamannya? Bukankah Ibrahim AS tidak mampu mengislamkan ayahnya?

Bukankah Nuh AS juga tidak mampu mengislamkan anaknya? Bukankah pula Luth AS tidak mampu mengislamkan isterinya?

Lalu siapa kita yang merasa mampu mengislamkan orang?

Intinya saya ingin menggaris bawahi bahwa dakwah bukan untuk bertujuan "konversi". Keyakinan atau iman itu adalah "kata hati" yang paling dalam dari seseorang. Dan karenanya tidak seorang pun yang berhak melakukan intervensi. Islam juga sangat tegas: "tiada paksaan dalam agama". Bahkan Alquran menegaskan: "kamu (wahai Muhammad) tidak punya kuasa atas mereka (untuk menentukan iman mereka).

Karenanya kewajiban menyampaikan ini tidak lain adalah bagian dari proses pengenalan, demi terbangunnya pemahaman yang benar dari agama ini. Saya yakin memahami agama kita, dan agam orang lain secara benar, menjadi kontribusi penting dalam keamanan (security) dan perdamaian (peace) dunia kita saat ini.

Oleh karenanya dalam hal dakwah ini masalah terpenting justeru ada pada sisi "how" atau bagaimana  dakwah itu seharusnya disampaikan? Kecerobohan atau  dalam mengkomunikasikan agama ini seringkali membawa kepada akibat yang fatal.

Dakwah itu esensinya "ajakan". Mengajak itu memiliki nuansa "persuasi". Persuasi itu harusnya membangun "simpati". Dan simpati itu biasanya akan lebih efektif melalui "kepercayaan". Sementara untuk tumbuhnya kepercayaan diperlukan proses dialog. Proses dialog inilah yang saya terjemahkan dengan "proses tablig" atau pengenalan.

Dan di sini pulalah komunikasi itu memiliki peranan kunci yang menentukan. Dakwah yang tidak mengenal komunikasi yang tepat justeru berbalik arah dan tujuan. Yang terjadi bukannya "ajakan", tapi "pengusiran".

Sebagai ilustrasi saja. Seorang teman Katolik, misalnya, ingin mengenal agama ini. Datanglah dia ke seorang ustaz, yang boleh jadi sangat berilmu. Sayangnya, ustaz ini, kurang menguasai ilmu komunikasi itu. Sehingga yang terjadi adalah apa yang sering saya istilahkan dengan komunikasi "bolduzer". Main hantam dengan tujuan baik. Akhirnya, semua runtuh dan belum tentu bisa terbangun kembali.

Sang ustaz kemudian menerima teman Katolik tadi. Pertanyaan pertama sang Katolik itu adalah apa pandangan Islam tentang Yesus Kristus? Apakah Yesus dalam Islam itu dihormati dan dicintai?

Pertanyaan ini tentu mewakili sentimen dasar beliau yang memang sangat cinta dan hormat kepada Yesus. Beliau tentu ingin Yesus dicintai dan dihormati oleh seluruh manusia. Beliau bahkan ingin jika Yesus diterima menjadi bagian dari iman keagamaan manusia.

Tapi, karena di kepala sang ustaz ini memang yang ada adalah sisi negatif semata dari semua orang, maka jawaban pertama yang disampaikan adalah "sungguh kafirlah orang yang percaya kepada trinitas (tsalitsu tsalatsa)". Dengan kekafiran itu kemudian sang ustaz segera menjatuhkan vonis jika orang di hadapannya itu adalah ahli neraka.

Salahkah statemen itu? Tidak. Bahkan itu adalah ayat Alquran. Tapi penyampaian yang tidak sesuai dengan suasana lingkungan dan audiens  dakwahnya. Lalu apa yang terjadi?

Mendengar itu, sang Katolik itu sedih. Bahkan boleh jadi marah. Yang terjadi bukan lagi ingin tahu tentang Islam. Tapi bagaimana mencari cara agar Islam semakin buruk di mata orang. Bahwa Islam itu anti-agama lain, dan membenci pemeluk agama lain. Dia pun akan pulang dengan hati geram dan penuh permusuhan.

Di sinilah kita lihat betapa komunikasi yang tepat itu menjadi krusial dalam menentukan wajah Islam yang sesungguhnya. Kalau saja sang ustaz tadi memulai dengan hal-hal yang disepakati dan positif, mungkin akan lain hasilnya.

Memahami audiens (lingkungan)

Untuk terciptanya sebuah komunikasi yang sesuai dan efektif salah satu hal yang perlu disadari adalah urgensi memahami kepada siapa kita berbicara (mengenal audiens). Dengan kata lain adalah menjadi sangat penting bagi semua da'i untuk "melek lingkungan".

Berdakwah di Amerika dengan mind-set Timur Tengah tidak akan nyambung. Berdakwah di Jawa dengan pendekatan Aceh atau Makassar boleh jadi terpental. Jika anda berbicara kepada ahli ekonomi jangan memakai bahasa kedokteran atau insinyur. Akan membosankan dan sia-sia.

Kalau seandainya ustaz tadi dalam menjawab teman katolik itu tentang Yesus, ingin memahami tendensi kejiwaannya yang cinta dan hormat Yesus, sudah tentu akan menjawab minimal sebagai berikut:

"Teman, Yesus dalam Islam itu adalah sosok yang sangat dihormati, dikagumi dan dicintai. Bahkan kami umat Islam tidak akan menjadi Muslim kecuali menerima Yesus sebagai bagian dari iman kami. Beliau adalah satu dari lima rasul yang terhebat (ulul azmi)".

Setelah memulai seperti di atas saya yakin akan menumbuhkan rasa simpati di benak sang Katolik. Dia akan siap mendengarkan penjelasan selajutnya, bahkan yang tidak sejalan dengan keyakinannya sekalipun. Misalnya diikuti dengan penjelasan tuntas, tapi tetap dengan bahasa santun, tentang posisi Alquran mengenai Yesus. Termasuk penolakan Alquran dalam hal ketuhahan (tuhan atau anak tuhan) Yesus Kristus.

Saya yakin teman katolik tadi minimal akan meninggalkan sang ustaz itu dengan hati yang nyaman. Bukan dengan hati marah dan kesal.

Disambut dengan shalawat dan zikir

Kegiatan kedua kami hari itu adalah hadir dalam sebuah majelis zikir NU, yang beraliran thoriqah sufi yang kental. Kehadiran kami pun disambut dengan sholawat dan zikir bersama. Sejujurnya saya merasakan kesejukan dengan penyambutan ini. Shalawat dan zikir adalah penyejuk hati di tengah panasnya kota Surabaya.

Di acara ini kami lebih banyak berbicara tentang perkembangan dakwah di Amerika. Diskusi ini memang menjadi bagian dari bedah buku terbaru kami "Kuketuk hati dari kota judi". Sebuah buku yang kami tulis berdua (dengan Mba Peggy Melati).

Satu hal yang menarik bagi saya di sini adalah kenyataan bahwa saya adalah alumni pesantren Muhammadiyah. Tentu banyak yang mengenal saya sebagai kader Muhammadiyah. Kecurigaan orang tentunya juga adalah bahwa saya "anti" non Muhammadiyah.

Tapi benarkah demikian? Tidak seharusnya demikian.

Saya adalah seseorang yang berpaham "merangkul" semua kalangan selama itu masih dalam batas dinding-dinding kebenaran. Artinya, selama perbedaan itu adalah perbedaan pendapat atau penafsiran yang terikat oleh Alquran dan As-Sunnah, saya akan menerimanya sebagai bagian dari pemikiran Islam yang dihormati. Kendati mungkin saya tidak setuju atau sepaham.

Saya melihat perbedaan-perbedaan yang ada tidak lebih dari penafsiran/cara pandang, yang justeru saling melengkapi. Dan karenanya menjadi penyambung bagi berbagai kelompok dalam rumah Islam yang satu ini menjadi kebutuhan terpenting di saat kesatuan itu tercabik-cabik. Di sinilah kemudian saya sebagai kader Muhammadiyah merasa sangat nyaman bekerjasama dengan saudara-saudara saya yang kebetulan punya afiliasi (Islam) yang lain.

Prinsip saya sederhana. Kita berjuang untuk Islam dan kemanusiaan. Afiliasi apapun jangan sampai menjadi tujuan. Oleh karenanya apapun afiliasi kita, baik dalam ormas maupun orpol, sebaiknya jangan mencabik kesatuan umat dan mengorbankan kepentingan Islam dan keumatan.

Pak Dahlan itu orang hebat

Penerbangan saya dari Surabaya ke Jakarta malam itu sekitar jam 9:30. Acara di majelis thoriqah tadi selesai jam 6 (Magrib). Padahal, satu lagi acara terpenting saya di Surabaya yang harus saya lakukan hari itu.

Sejak beliau diuji oleh Allah dengan ditetapkannya sebagai tersangka dalam kasus yang dihadapinya, saya sudah berniat untuk mengunjungi beliau. Bahkan sejak Januari lalu. Akan tetapi hal itu belum ditakdirkan terjadi hingga rencana kepulangan saya Juli kemarin. Itupun belum yakin hingga memang saya dijadwalkan ke kota Surabaya dengan beberapa agenda di atas.

Pak Dahlan adalah Pak Dahlan. Beliau adalah batu karang yang tegar di tengah derasnya hembusan ombak kehidupan. Ketika saya menyampaikan ke beliau melalui komunikasi WA, beliau respons dengan ini: "ustaz, saya akan kirim mobil dan sopir menjeput ustaz".

Saya sampaikan bahwa selama saya di Surabaya saya sudah ada mobil dan pendamping. Sungguh menyentuh ketika beliau menjawab: "tetap nanti saya kirim mobil dan sopir ustad. Takut nanti ustaz tidak jadi ke rumah saya!".

Benar adanya. Jauh sebelum selesai acara di majelis thoriqah itu, mobil dan sopir beliau telah menanti saya. Saya terpaksa meninggalkan acara "ikram dhuyuf" (memuliakan tamu) di majelis thoriqah tadi. Padahal, mereka sudah menyiapkan makanan-makanan khas asli Surabaya.

Setiba di rumah beliau, saya disambut di depan rumah dengan kehangatan dan keakraban. Saya tidak melihat sedikit pun perubahan di wajah beliau. Senyum dan tawa lepas tetap menghiasi wajah beliau. Beliau menyambut saya bersama beberapa wartawan Jawa Pos, termasuk pemimpir redaksinya.

Malam itu silaturrahmi kami menjadi sangat lengkap. Karena ternyata teman yang saya hormati, Prof Phillips K. Widjaya, Sekjen bidang luar negeri Walubi (asosiasi umat Buddha) juga menyempatkan diri untuk hadir. Selama ini kami memang sering melakukan komunikasi dan saling tukar informasi secara rutin. Hubungan kami terasa dekat, terasa perbedaan iman itu bukan halangan untuk sharing dan caring dalam kemanusiaan.

Saya sendiri tidak sama sekali menanyakan lagi ujian yang menimpa pak Dahlan. Karena ingin momen itu kami merasakan yang indah-indah saja. Tapi lebih dari itu karena saya yakin bahwa apa yang menimpa beliau adalah tragedi hukum dan kezholiman yang nyata. Mungkin dalam bahasa seorang petinggi BPK: "betapa ada kasus yang diputar balik. Yang besar bisa diperkecil. Dan yang kecil bisa diperbesar. Tergantung ke mana arah angin kepentingan yang terkait".

Sungguh ironis karena ketika dalam sebuah bangsa hukum bertiup mengikuti arah kepentingan maka saat itu yang terjadi adalah hukum rimba. Di saat anda berkuasa maka anda akan menerkam semua mangsa yang menghalangi kepentingan hawa nafsu anda.

Malam semakin terasa hidup dan segar dengan diskusi dalam berbagai hal. Dari hal-hal yang serius dan berat, seperti perekonomian bangsa dan masa depannya, hingga ke masakan isteri beliau yang sangat lezat. Percakapan itu menjadi semakin indah karena memang ditemani oleh hidangan lezat masakan Bu Dahlan.

Tanpa terasa jam di dinding menunjukkan pukul 8 malam. Kami pun harus pamit menuju bandara Surabaya. Karena keesokan dini hari kami akan kembali terbang menuju Semarang, Jawa Tengah.

Yang pasti arek-arek Surabaya masih terkenang. Kota Pahlawan Bung Tomo siapa yang akan melupakannya?

Dan saya pun hanya berharap pahlawan-pahlawan tanpa pamrih lainnya untuk bangsa dan negara itu semoga tetap dapat dihargai. Jika tidak sejarah akan mencatat jika kita adalah bangsa yang tidak tahu berterima kasih.

Dan saya yakin jika Pak Dahkan Iskan adalah satu dari putra-putri terbaik bangsa yang selayaknya mendapat apresiasi dan penghargaan. Semoga!

New York, 31 Juli 2017

* Presiden Nusantara Foundation

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement