REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR/MPR Fraksi PPP, Achmad Dimyati Natakusuma mengatakan, penanaman ideologi Pancasila dan pendekatan agama menjadi faktor penting untuk mencegah masuknya paham radikalisme.
Menurut Dimyati, agar dapat benar-benar berfungsi menangkal ideologi radikal, maka ideologi Pancasila perlu dilembagakan. "Pandangan dan sikap untuk menyelamatkan ideologi negara dan NKRI perlu didorong agar menjadi aksi bersama untuk segera melembagakan Pancasila sebagai upaya perlawanan terhadap ideologi radikal," ujar Dimyati dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Kamis (10/8).
Pentingnya melembagakan ideologi Pancasila juga sempat diungkapkan Dimyati dalam Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan yang digelar di Aula Karang Karang Taruna, Kelurahan Pademangan Utara, Jakarta Utara, pada (23/7). Acara sosialisasi itu dihadiri Rempug Remaja Pademangan Jakarta Utara.
Dimyati menyoroti pentingnya lembaga khusus yang mengawal Pancasila sebagaimana di era Orde Baru yang dikenal dengan sebutan BP-7. "Dorongan dan wacana pelembagaan ideologi negara tersebut menjadi penanda bahwa Pancasila bukanlah yang pantas ikut disalahkan tetapi lumrah untuk terus dibicarakan," tuturnya.
Dengan pemaknaan ini, kata dia, Pancasila harus menjadi petunjuk bagaimana Negara ini ditata-kelola dengan benar agar lebih bersifat fungsional. "Lalu siapa yang mengoperasionalisasikan nilai-nilai Pancasila itu? Tidak lain adalah manusia Indonesia itu sendiri yang secara sadar dan sungguh-sungguh menginternalisasikan dan membumikan nilai-nilai Pancasila yang masih abstrak ke dalam bentuk realitas kehidupan sehari-hari," tegasnya.
Menurut dia, dalam konteks pencegahan ideologi radikal, pemerintah perlu segara melakukan beberapa langkah. Pertama, kata Dimyati, pemerintah perlu membentuk lembaga khusus pengawal ideologi Pancasila.
Kedua, lanjut dia, memasukkan kembali Pendidikan Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar (SD/MI), SMP/M.Ts, SMA/SMK/MA, hingga Perguruan Tinggi. Tujuannya, papar dia, agar para generasi muda memiliki wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi, sehingga bisa fokus membangun bangsa dan tidak mudah terjerat oleh ideologi impor.
Diakuinya, sejak Reformasi 1998, gelombang radikalisme dengan mudah berkembang melalui banyak varian di Republik Indonesia. Kondisi itu, dinilainya sangat menyedihkan. "Sungguh menyedihkan, bangsa yang dikenal paling majemuk di dunia dengan tradisi budayanya yang penuh toleran, ramah, religius, dan menjunjung tinggi nila-nilai kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang beringas, bahkan tidak segan-segan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti aksi terorisme dan berbagai bentuk tindakan kekerasan lainnya," ungkap Dimyati.