Rabu 09 Aug 2017 08:27 WIB

Hatta-Sjafruddin: Kisah Perang Uang di Awal Kemerdekaan

Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.
Foto:
Sjafruddin Prawiranegara, Sang Penyelamat Republik.

Oleh karena Sjafruddin dianggap orang yang menguasai masalah uang,  delegasi KNI Priangan meminta Sjafruddin meyakinkan Bung Hatta.

Terjadilah dialog seperti diceritakan Ajip Rosidi (2011:103-104), sebagai berikut.

Bung Hatta: "Apa perlunya mengeluarkan uang baru? Oleh dunia internasional kita dapat dituduh sebagai pemalsu uang (valse munters), dan andaikata kita ditangkap Belanda, kita akan dihukum sebagai demikian."

Sjafruddin: "Kalau pemerintah RI,  termasuk Bung Hatta, memang mengalami nasib sial ditangkap Belanda,  anggota-anggotanya bukan akan dihukum sebagai valse munters,  melainkan karena telah melakukan 'kejahatan' yang oleh Belanda akan dipandang lebih berat. Yakni telah memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia yang merupakan suatu pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda yang sah (menurut mereka)!"

Bung Hatta: "Baiklah kita tidak dapat dituduh melakukan pemalsuan uang. Tetapi apakah pada taraf perjuangan sekarang, perlu dikeluarkan uang baru? Kita lanjutkan saja pemakaian uang yang dicetak Jepang tanpa membuang-buang waktu dan tenaga untuk mengeluarkan uang baru. Kita ambil saja sebagai contoh pemerintah Bolsyewik di Rusia.  Tatkala pemerintah Tsar berhasil mereka gulingkan pada tahun 1917, pemerintah Komunis tidak mengeluarkan uang baru,  tetapi tetap memakai uang lama."

Sjafruddin: "Contoh dari Rusia itu tidak berlaku buat kasus di Indonesia. Pemerintah Bolsyewik tidak mendirikan negara baru. Hanya pemerintahannya ditukar. Di Indonesia ini bukan saja pemerintah Belanda ditukar dengan pemerintah Indonesia, tetapi status jajahan ditukar dengan status negara yang merdeka dan berdaulat. Justeru karena itu perlu diadakan uang baru sebagai salah satu atribut kemerdekaan negara kita."

Dengan argumen: "mata uang sebagai atribut kemerdekaan negara", akhirnya Wakil Presiden Hatta menerima gagasan KNI Priangan yang disuarakan dengan fasih oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Alhasll, dengan takdir Allah Yang Maha Kuasa,  setelah melalui proses yang panjang dan berliku [lihat juga Mohammad Saubari,  dalam Boediono dkk,  2011, hlm 25-57), akhirnya mata uang yang secara resmi dinamakan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) mulai diedarkan pada pukul 24.00 tanggal 29-30 Oktober 1946. Dengan beredarnya ORI sebagai alat pembayaran yang sah,  maka segala macam uang yang berlaku sebelum ORI dinyatakan tidak berlaku lagi.

Agar dalam proses pergantian uang,  rakyat tidak dirugikan, pemerintah membagi-bagikan uang baru langsung kepada rakyat secara merata. Setiap penduduk mendapat satu ORI.

Terbitnya ORI disambut dengan gegap gempita, bukan hanya oleh rakyat di wilayah RI,  tetapi juga

oleh rakyat di daerah pendudukan. Harian Belanda Nieuwsgier,  1 November 1946, mewartakan kegembiraan itu terjadi di mana-mana.

Di banyak tempat, pemberian satu ORI itu dilakukan dengan upacara khidmat. ORI diberikan dalam bungkusan berwarna merah putih. Di tempat lain,  pemberian ORI didahului dengan selamatan.

Mengantisipasi harapan berlebihan atas terbitnya ORI,  Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara dalam pidato radio yang dipancarluaskan ke seluruh wilayah RI antara lain mengatakan bahwa dengan keluarnya ORI tidak berarti seluruh kekurangan, kesulitan, dan penderitaan akan lenyap sekaligus.

Sjafruddin mengingatkan,  ORI bukanlah tujuan. ORI adalah alat bagi perjuangan selanjutnya untuk mencapai tujuan mendirikan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, khususnya di bidang ekonomi.

Sayang,  keberhasilan itu tidak berlangsung lama.  Netherlands Indies Civilian Administration (NICA) yang menduduki beberapa kota penting, merampas uang Jepang yang oleh tentara pendudukan Jepang dimaksudkan sebagai dana cadangan sebesar f 2 miliar (uang Jepang masih dihitung dengan f = florin,  gulden, mata uang Belanda,  tetapi dalam kehidupan sehari-hari rakyat menggunakan istilah rupiah atau perak).

Uang hasil rampasan itu kemudian oleh NICA dihambur-hamburkan di daerah RI. 

Tidak ayal lagi terjadi "perang uang" di daerah  pendudukan seperti Jakarta, Bogor, Bandung, dan kota-kota besar lain. Rakyat yang setia kepada RI hanya mau menggunakan ORI. Ternyata makin lama ORI makin populer. Sebuah koran di Jakarta  menurunkan berita dengan judul: "Oeang Kita Menang,  Kata Rakjat Djakarta."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement