Rabu 09 Aug 2017 08:27 WIB

Hatta-Sjafruddin: Kisah Perang Uang di Awal Kemerdekaan

Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.
Foto: Gahetna.nl
Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.

Oleh: Lukman Hakiem*

Setiap memperingati ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan, yang terbayang oleh kita biasanya hanya dua: perjuangan militer, dan perjuangan diplomasi. Hampir-hampir tidak diingat,  ada perjuangan yang ketiga, yang tidak kalah pentingnya yaitu "perang uang".

Perang uang inilah yang oleh pakar sejarah politik,  Fachry Ali (2011), disebut "mengontrol mata uang nasional sebagai senjata politik (contol on national currency as a political weapon).

KNI Priangan

Segera sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). 135 orang yang dianggap sebagai pejuang nasional yang terkemuka dilantik oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi anggota KNIP. Para anggota parlemen sementara itu kemudian memilih Mr. Kasman Singodimedjo sebagai Ketua KNIP.

KNIP bekerja cepat. Untuk mengukuhkan dukungan daerah terhadap Proklamasi Kemerdekaan, dibentuklah KNI di berbagai daerah.

Di Priangan,  rapat pembentukan KNI dilaksanakan sepekan sesudah Proklamasi Kemerdekaan, yakni pada 24 Agustus 1945, dipimpin oleh Residen Priangan, R. Poeradiredja.

Menurut Ajip Rosidi (2011: 98-99), rapat dihadiri 24 orang yang dianggap mewakili seluruh elemen masyarakat Priangan terdiri dari 9 orang mewakili organisasi kemasyarakatan, 6 orang mewakili golongan sosial, 6 orang individu sebagai tokoh penting, dan 3 orang mewakili golongan peranakan Indo,  Arab,  dan Cina.

KNI Priangan memilih Niti Sumantri sebagi Ketua,  didampingi Ir.  Oekar Bratakoesoemah (Wakil Ketua), Anwar Sutan Pamuntjak,  dan Hamdani (anggota). Dibentuk pula Sekretariat KNI,  dipimpin oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada Proklamasi Kemerdekaan dan Pemerintah Republik Indonesia, pada 2 September 1945, dilaksanakan rapat akbar di alun-alun Bandung.

Namun, rapat akbar seperti itu perlu dilakukan, karena tidak semua bangsa Indonesia menyambut baik Proklamasi Kemerdekaan. Banyak di antara kaum terpelajar yang menyikapi Proklamasi Kemerdekaan dengan sinis,  pesimis, bahkan tidak percaya bangsa Indonesia akan dapat mengatur negaranya sendiri.

"Bagaimana Proklamasi Kemerdekaan itu akan berhasil? Bukankah kalau mau berhasil kita harus punya kekuatan? Bukankah untuk mempunyai kekuatan kita harus punya senjata? Dari mana kita akan mendapat senjata? Apakah mau melawan senjata modern dengan bambu runcing?", itulah rangkaian pertanyaan sinis yang diterima Sjafruddin dari para koleganya.

Mencermati keadaan, pada awal September 1945, KNI Priangan merumuskan dua usul yang akan disampaikan kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Kepada Bung Karno diusulkan mengenai perlunya menggerakkan massa rakyat untuk mendukung kemerdekaan. Kepada Bung Hatta diusulkan agar pemerintah mengeluarkan mata uang Republik Indonesia untuk menggantikan uang Jepang yang sampai saat itu masih berlaku sebagai  alat pertukaran dan pembayaran yang sah.

Bung Karno menyambut baik usul KNI Priangan. Akan tetapi, ketika bertemu Bung Hatta, terjadi diskusi yang cukup hangat, karena Wakil Presiden itu ternyata tidak menganggap penting RI memiliki mata uang tersendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement