Jumat 04 Aug 2017 06:33 WIB

Jika Gugatan UU Pemilu Ditolak, akan Hanya Ada Tiga Capres

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Para pejabat Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) memperlihatkan pengajuan surat permohonan Uji Materiil Undang-Undang Pemilu 2017 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (24/7).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Para pejabat Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) memperlihatkan pengajuan surat permohonan Uji Materiil Undang-Undang Pemilu 2017 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (24/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apabila gugatan uji materi terhadap Undang-undang (UU) Pemilu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pemilihan presiden (Pilpres) mendatang diprediksi hanya bisa maksimal tiga pasangan calon. Jika penolakan itu terjadi, kelompok elit di Indonesia dinilai berhasil membatasi pilihan rakyat kecuali pilihan mereka.

"Khusus Pilpres, hanya bisa maksimal tiga pasang (kalau gugatan UU Pemilu ditolak MK)," ujar pengamat politik dari Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi kepada Republika, Kamis (3/8).

Muchtar menjelaskan, pasangan pertama merupakan pasangan Joko Widodo yang didukung oleh mayoritas partai politik PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, dan mungkin juga PPP dan PKB. Kedua, pasangan Prabowo Subianto yang didukung Gerindra dan PKS.

"Ketiga, paling mungkin pasangan atas kemauan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas dukungan partai Demokrat dan PAN, atau mungkin juga dari PPP atau PKB," terang Muchtar.

Menurut dia, jumlah maksimal sesuai realitas objektif perilaku partai politik belakangan inilah yang membuat prediksinya hanya tiga pasangan calon. Itupun, lanjut Muchtar, selama SBY punya prakarsa untuk membuat pasangan tersendiri yang terpisah dari pasangan Prabowo.

Apabila MK menolak gugatan tersebut, jelas Muchtar, makna substansial yang ada adalah kelompok oligarki di Indonesia berhasil membatasi pilihan rakyat kecuali pilihan mereka. Demokrasi pun hanya akan menjadi prosedural.

"Perilaku parpol kian melembaga transaksional dan kartel. Kultur korupsi kader parpol terus akan berlangsung di lembaga legislatif," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement