REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan orang dari Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, Rabu (26/7) menggelar aksi di Depan DPRD DKI Jakarta. Mereka menuntut penghentian pembahasan Raperda tentang Reklamasi.
"Atas rencana membahas penyusunan kedua raperda tersebut, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta dengan tegas menolak dilalukannya pembahasan Raperda Reklamasi (Raperda RZWP3K dan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta)," ujar perwakilan koalisi dalam siaran bersama di Jakarta, Rabu (26/7).
Ada tujuh alasan mendasar penolakan tersebut. Pertama, raperda tersebut disebut telah disusun tanpa melibatkan partisipasi masyarakat terdampak, baik perempuan maupun laki-laki. Ini bertentangan dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan DPRD DKI Jakarta No. 1 tahun 2014 tentang tata tertib pasal 141 ayat 2 yang mengharuskan adanya masukan dari masyarakat.
Kedua, kedua Raperda itu disusun tanpa didasarkan adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis Jabodetabek dan Rencana Zonasi Tata Ruang Laut Kawasan Strategis Wilayah Wilayah Jabodetabek yang saat ini belum diselesaikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). KLHS dan rencana zonasi Jabodetabek merupakan pijakan utama bagi DKI untuk menyusun RZWP3K.
Ketiga, raperda itu mengakomodasi kepentingan pengembang properti reklamasi, tidak memperhatikan keberadaan masyarakat pesisir, nelayan tradisional, termasuk perempuan pelayan/pesisir, bukan untuk kepentingan umum. Berdasarkan UU Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pemanfaatan wilayah pesisir harus bertujuan untuk kepentingan masyarakat pesisir.
Keempat, kedua raperda bertentangan dengan UU No. 7 tahub 2017 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Itu akan menghilangkan wilayah tangkap dan kehidupan nelayan. Kelima, raperda itu disusun dengan cara-cara yang tidak terpuji dan diduga melibatkan korupsi oleh sejumlah anggota DPRD. Ketua DPRD DKI Jakarta diduga terlibat dalam upaya lobi bersama para pengembang reklamasi.
Ia juga mengeluarkan surat tertanggal 20 Juli 2017. Tindakan ini patut dicurigai sebagai bentuk keberpihakan kepada pengembang properti dibandingkan kepentingan rakyat DKI Jakarta.
Keenam, upaya penyusunan raperda ini sekaligus membuktikan bahwa reklamasi merupakan projek ilegal. Raperda ini seharusnya disusun dan disahkan terlebih dahulu sebelum reklamasi dilakukan. Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Akibat kepentingan bisnis, maka reklamasi dijalankan terlebih dahulu, baru perda dibahas menyusul.
Ketujuh, pembangunan di wilayah pesisir, khususnya reklamasi, telah berdampak pada hilangnya akses masyarakat, nelayan tradisional, termasuk perempuan pesisir nelayan/pesisir terhadap sumber-sumber penghidupan serta menghancurkan sistem sosial masyarakat dan meningkatkan ketidakadilan gender.