Ahad 23 Jul 2017 05:36 WIB

Pengamat: Wajar Penguasa Ingin Langgengkan Kekuasaan

 Menkumham Yasonna Laoly (kanan) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo (kiri) mengikuti rapat paripurna pengambilan keputusan RUU Pemilu di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (20/7).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Menkumham Yasonna Laoly (kanan) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo (kiri) mengikuti rapat paripurna pengambilan keputusan RUU Pemilu di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (20/7).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono menilai wajar bila ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menguntungkan rezim yang saat ini berkuasa demi melanggengkan kekuasaannya.

"Apakah UU Penyelenggaraan Pemilu yang menjadi landasan hukum pelaksanaan pemilu anggota legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 itu untuk kepentingan Jokowi, PDI Perjuangaan, dan partai pendukung lainnya? Saya kira jelas," kata Teguh di Semarang, Sabtu (22/7) malam.

Teguh yang juga Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang menekankan, rezim yang berkuasa pasti ingin melanggengkan kekuasaan. Ia menegaskan hal itu merupakan hukum atau dalil politik di mana-mana. 

Penguasa (incumbent) atau pemimpin yang sedang berkuasa menginginkan melanjutkan kekuasaannya dengan cara memenangi pemilihan umum pada periode berikutnya. "Saya kira normal apa yang dilakukan oleh Jokowi dan timnya serta partai pengusungnya agar Jokowi bisa menang pada Pilpres 2019. Hal ini biasa di dalam politik," katanya.

Kendati demikian, dia menambahkan, pada pilpres mendatang minimal harus ada dua pasang calon sehingga tetap harus ada koalisi di antara parpol peraih suara pada Pemilu Anggota DPR RI 2014. 

Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna DPR RI yang berlangsung pada hari Kamis (20/7) hingga Jumat (21/7) dini hari, terdapat perbedaan sejumlah fraksi, antara fraksi yang mendukung Paket A dan pendukung Paket B. Sejumlah partai, termasuk PDI Perjuangan, mendukung Paket A yang bermuatan ketentuan presidential threshold (20 persen dari total kursi DPR RI atau 25 persen dari suara sah nasional pada Pemilu Anggota DPR RI 2014), parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3 s.d. 10 kursi), dan metode konversi suara adalah saint lague murni.

Fraksi Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN mendukung Paket B yang memandang tidak perlu ada persentase dalam presidential threshold alias nol persen. Untuk parliamentary threshold, mereka juga sepakat 4 persen, sistem pemilu (terbuka), dan alokasi kursi (3 s.d. 10 kursi), sedangkan metode konversi suara yang mereka pilih adalah quota hare.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement