Jumat 21 Jul 2017 13:21 WIB

Pemberlakuan PT 20 Persen Memunculkan Diskriminasi

Rep: Singgih Wiryono/ Red: Ratna Puspita
Deretan kursi kosong yang ditinggalkan anggota empat fraksi DPR yang melakukan walkout pada sidang paripurna pengesahan RUU Pemilu.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Deretan kursi kosong yang ditinggalkan anggota empat fraksi DPR yang melakukan walkout pada sidang paripurna pengesahan RUU Pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan, pemberlakuan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen suara parlemen memunculkan diskriminasi dalam pemilihan umum (pemilu). Ambang batas ini membuat semua partai politik tidak punya kesetaraan peluang untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019.

"Jika pemberlakuan PT diterapkan maka pada pemilu 2019 tidak semua peserta pemilihan umum memiliki kesetaraan peluang untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden," kata saat dihubungi Republika, Jumat (21/7).

Titi menjelaskan hak pencalonan presiden dalam pengesahan ambang batas pencapresan 20 persen ini menggunakan perolehan suara hasil Pemilu Legislatif pada 2014. Artinya, partai politik baru tidak punya peluang untuk membangun posisi politik yang sama dengan partai yang sekarang ini punya kursi dan suara di parlemen. 

"Di sana saja sudah ada ketidakadilan perlakuan kan? Partai peserta pemilu yang baru akan hanya menjadi pengikut posisi politik yang dimiliki partai politik yang lalu," kata dia menjelaskan. 

Titi menambahkan hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak partai politik peserta Pemilu 2019 mengajukan pasangan capres dan wapres. Pasal 6 A ayat 2 UUD 1945 menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Selain itu, menurut Titi, Pemilu 2019 akan berlangsung serentak. Artinya, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilakukan dalam waktu yang sama. Dengan kondisi ini, dia menyatakan, presidential threshold seharusnya sudah tidak berlaku. 

"Ketika pemerintah meminta untuk memberlakukan presidential threshold dan DPR sudah paham betul akan ada konsekuensi hukum atas pilihan yang dibuat tersebut," ujar dia.

Konsekuensi hukum itu, Titi melanjutkan, akan ada sejumlah pihak yang menolak dan melakukan gugatan atas pemberlakuan presidential threshold. Ia menambahkan, proses penolakan juga tidak hanya di luar parlemen, bahkan juga muncul dari kalangan DPR sendiri.

"Di lingkungan dalam parlemen pun menyampaikan akan melakukan upaya hukum," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement