Kamis 20 Jul 2017 05:21 WIB

Natsir dan Kenangan Pasca-Masyumi Dibubarkan

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Mohammad Natsir, setelah Masyumi dibubarkan, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Pada 1984, Pak Natsir dan Ummi Nurnahar ditemani Sekretaris Pribadi Ramlan Mardjoned, berkunjung ke Yogyakarta.

Berbeda dengan sejumlah tokoh yang jika ke Yogya bermalam di hotel atau penginapan,  selama beberapa hari di Yogya,  Pak Natsir dan Ummi bermalam di rumah Dr Ahmad Watik Pratiknya di kawasan Warungboto.  Dr Watik dan istrinya, Yu Nung, sangat berbahagia rumahnya diinapi oleh Pak Natsir dan Ummi.

Malam menjelang Pak Natsir kembali ke Jakarta, diselenggarakan silaturrahmi di rumah Dr Watik.

Tokoh-tokoh cendekiawan Yogya yang hadir antara lain Saifullah Mahyuddin,  A Syafii Maarif, M.Amien Rais, Chairil Anwar, Said Tuhuleley, dan Zulkifli Halim.

Dalam dialog, saya --yang saat itu tinggal di Yogyakarta dan hadir pada pertemuan--memberi tahu bahwa sebentar lagi Nurcholish Madjid yang sudah selesai studinya di Universitas Chicago, akan segera kembali ke tanah air. Mengingat Cak Nur pernah membikin heboh dengan pemikiran pembaruannya,  saya bertanya kepada Pak Natsir, apa sikap kita?

Pak Natsir yang sedikit banyak kecewa oleh sikap Cak Nur di awal Orde Baru itu, saya duga akan memberi pernyataan yang cukup keras. Namun, di luar dugaan, dengan nada lembut Pak Natsir berkata: "Di dalam perjuangan, rumput keringpun ada manfaatnya. Apalagi seorang Nurcholish Madjid, doktor lulusan Chicago." Saya melirik Zulkifli dan Tuhuleley. Kedua karib saya itu tersenyum.

Di lain waktu, yakni Menjelang Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1990, Media Dakwah menurunkan laporan utama mengenai Muhammadiyah.

Laporan saya tulis berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai sumber: cendekiawan bebas maupun cendekiawan dan aktifis Muhammadiyah. Salah seorang  narasumber,  aktifis Muhammadiyah dan dosen di sebuah perguruan tinggi negeri,  menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan sudah sangat lamban. Narasumber itu mengibaratkan kelambanan Muhammadiyah seperti "gajah gemuk".

Setelah laporan utama selesai saya tulis,  teman-teman redaksi Media Dakwah sepakat menjadikan "Muhammadiyah Bagai Gajah Gemuk?" sebagai tema laporan utama dan menjadikannya sebagai banner di sampul depan. Sesudah majalah terbit, saya serahkan beberapa eksemplar ke Pak Natsir.

Membaca tulisan di sampul depan,  Natsir yang lembut,  seketika meledak kemarahannya. "Apa ini?  Apakah tidak ada kalimat lain yang lebih santun?  Mengapa harus menista saudara seiman," serentetan pertanyaan meluncur dari bibir Pak Natsir. Saya mencoba menjelaskan, tetapi cepat disergah.

"Jangan jelaskan sekarang. Beri penjelasan di dalam rapat Dewan Da'wah, besok."

Esoknya,  dalam rapat lengkap, sebagai penulis laporan utama, saya jelaskan semuanya. Setelah dicecar dengan berbagai pertanyaan oleh Pak Natsir,  Pak Yunan Nasution,  Pak Buchari Tamam,  Pak Anwar Harjono, dan Bang Hussein Umar,  alhamdulillah, penjelasan saya dapat diterima.

Dari rapat hari itu, sampai sekarang masih melekat dalam ingatan saya pesan Pak Natsir tentang etika berpolemik. "Dalam berpolemik, silahkan gunakan kalimat-kalimat yang tajam untuk melemahkan argumen lawan polemik, tapi jangan gunakan kalimat-kalimat yang kasar," pesan Natsir sambil meminta seluruh redaktur Media Dakwah untuk membaca kembali polemik Sukarno dengan Natsir.

"Saudara-saudara bisa merasakan betapa tajamnya polemik kami,  tapi baik Bung Karno maupun saya,  tidak pernah menulis sesuatu yang kasar. Karena itu,  baik saya maupun Bung Karno tidak pernah merasa sakit hati dengan polemik yang tajam itu,'' katanya.

Ya itulah M Natsir, salah satu bapak bangsa, mantan perdana menteri pertama RI, Pemimpin Partai Masyumi yang ironisnya pada awal 1960-an partainya dibubarkan Sukarno tanpa pengadilan. Pada 17 Juli lalu Natsir yang menjadi penggagas terbentuknya NKRI berulang tahun. Di masa dia menjabat sebagai Perdana Menteri, pada saat itulah untuk pertama kalinya bendera Merah Putih berkibar di Markas Besar PBB di New York.

Allahumaghfirlahu warhamhu.

 

*Lukman Hakiem, peminat sejarah , mantan staf M Natsir dan Wapres Jusuf Kalla

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement