Kamis 20 Jul 2017 05:21 WIB

Natsir dan Kenangan Pasca-Masyumi Dibubarkan

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Sukarno bersama M Natsir

Sebagai aktifis, ayah saya suka membaca. Koleksi bukunya lumayan banyak. Dari koleksi ayah saya itulah saya mulai membaca karya pikir tokoh-tokoh Masyumi, antara lain Capita Selecta,  Fiqhud Da'wah,  dan Marilah Shalat (M. Natsir),  Merantau ke Deli, Menunggu Bedug Berbunyi, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (Hamka), Documenta Historica (Osman Raliby), Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad (Munawar Chalil), dan Mujahid Da'wah (Isa Anshary).

Sebagai Pembantu Perwakilan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI), ayah secara rutin mendapat kiriman majalah Kiblat. Saya yang sudah hafal jadual kedatangan majalah itu,  kadang-kadang mendahului ayah membacanya. Untuk hal ini, kadang-kadang ayah terkesan kurang suka didahului membaca oleh saya.

Di majalah Kiblat itulah  saya bertemu dengan tulisan tokoh-tokoh Masyumi seperti M Natsir,  dr Abu Hanifah, Mr. Mohamad Roem, M. Yunan Nasution, Anwar Harjono, dan E. Z. Muttaqien. Sementara itu, kakek saya H. Nawawi bin H. Sadih (1910-1987), berlangganan majalah Pandji Masjarakat.

Jika ke rumah kakek, saya membaca Pandji,  dan bertemu dengan Hamka yang rutin menulis di rubrik "Dari Hati ke Hati."

Ayah juga memiliki dua jilid buku karya Bung Karno,  Dibawah Bendera Revolusi (DBR). Dengan membaca DBR dan Capita Selecta,  saya "menikmati" debat Sukarno-Natsir yang luar biasa itu.

Pengenalan terhadap pemikiran para tokoh itu diperkuat dengan ghirah al Masyumiyah di kampung saya yang menyebabkan sering hadirnya tokoh-tokoh Masyumi di dalam berbagai acara keagamaan.

Pada 1968, lantai pertama Masjid Al-Jihad di Cikarang diresmikan pemakaiannya ditandai dengan tabligh akbar pada malam hari dengan muballigh tokoh Masyumi Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Saya masih ingat, rumah orang tua saya menjadi tempat transit Pak Sjaf. Di awal Orde Baru itu,  sebagai bekas tahanan politik rezim Orde Lama Sukarno, nama bekas Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)  Sjafruddin Prawiranegara sangat harum.

Maka, pengamanan terhadap Pak Sjaf,  sangatlah ketat.  Rumah ayah saya pun dijaga ketat. Tidak sembarangan orang bisa mendekat. Siang harinya, untuk pertama kali Masjid Al-Jihad digunakan untuk shalat Jum'at. Khatib dan imam shalat Jum'at itu ialah KH  Taufiqurrahman, mantan Sekjen Masyumi.

Maka, asyarakat Cikarang heboh,  apalagi keesokan harinya ceramah Sjafruddin dan kegiatan di Masjid Al-Jihad dimuat sebagai berita utama di koran milik Masyumi,  Abadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement