Kamis 13 Jul 2017 01:46 WIB

Penerbitan Perppu Ormas Dinilai tak Penuhi Syarat Mendesak

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Nur Aini
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra
Foto: ROL/Abdul Kodir
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pemerintah untuk menerbitkan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan Undang-undang (UU) Ormas No. 17/2003 dinilai tak disertai alasan yang cukup. Padahal, menurut Ahli Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, Perppu hanya bisa diterbitkan dalam "hal ikhwal kegentingan yang memaksa".

"Tafsir tentang kegentingan yang memaksa itu ada dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009," ujar Ahli Tata Negara Yusril Ihza Mahendra dalam siaran persnya, Rabu (12/7).

Yusril menjelaskan, dalam putusan tersebut disebutkan, adanya kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU tetapi UU-nya belum ada atau UU-nya ada tapi tidak memadai. Sementara waktu sangat mendesak sehingga akan memerlukan waktu yang lama untuk menyusun UU dengan persetujuan DPR.

"UU Nomor 17/2003 itu lebih daripada lengkap mengatur prosedur sanksi administratif sampai pembubaran ormas. Tapi pemerintah dengan Perppu Nomor 2/2017 ini justru memangkasnya," kata Yusril.

Pemangkasan tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Yusril. Menurutnya, pemangkasan itu dilakukan dengan cara menghapus kewenangan pengadilan dan memberi kewenangan absolut pada pemerintah untuk secara subyektif menilai adanya alasan yang cukup untuk membubarkan ormas.

Selain itu, Yusril mengatakan, Perppu Nomor 2/2017 ini mengandung tumpang tindih pengaturan dengan norma-norma dalam KUHP. Tumpang tindih tersebut terkait delik penodaan agama, permusuhan yang bersifat suku, agama, ras, dan golongan, dan makar yang sudah diatur dalam KUHP.

"Adanya tumpang tindih ini bisa menghilangkan kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945," kata Yusril.

Baca juga: Isi Lengkap Soal Larangan dan Sanksi dalam Perppu Ormas

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement