REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, reformasi kebijakan di sektor perikanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah untuk menegakkan Pasal 33 UUD 1945.
"Terus lanjutkan lakukan pembaharuan-pembaharuan (untuk menegakkan pasal 33 UUD 1945)," kata Susi Pudjiastuti dalam acara halalbihalal di kantor KKP, Jakarta, Senin (10/7).
Pasal 33 UUD 1945, seperti di ayat (3) berbunyi, "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Untuk itu, ujar Susi, semua sumber daya ikan yang berenang di seluruh kawasan perairan nasional merupakan milik rakyat Indonesia sehingga harus dijaga sebaik-baiknya.
Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan kebijakan pemerintah dalam memproteksi sektor perikanan domestik menghadapi tekanan negara-negara G20 yang lebih menginginkan liberalisasi perdagangan.
"Bila proteksi domestik dihilangkan, kendali domestik kita akan lumpuh tertindas oleh kekuatan modal asing," kata Wakil Sekjen KNTI Niko Amrullah.
Niko mengingatkan, merujuk data Organisasi Pangan Dunia (FAO), Indonesia merupakan produsen ikan terbesar ketiga dunia, namun bila berbicara tentang ekspor produk perikanan, maka Indonesia tidak masuk ke dalam peringkat top 10 dunia.
Hal tersebut, lanjutnya, menunjukkan bahwa fondasi sektor perikanan nasional masih lemah sehingga masih dibutuhkan adanya proteksi.
Niko menambahkan bahwa saat ini dunia sedang mengalami tantangan besar yakni problematika pangan untuk sembilan miliar penduduk dunia di tahun 2050 sebagai dampak perubahan iklim, perekonomian yang tidak menentu, dan berujung pada peningkatan kompetisi pemanfaatan sumber daya alam.
Untuk itu, ia menyatakan sektor perikanan menjadi target Sasaran Pembangunan Global dari aspek pangan dan nutrisi yang mesti dipastikan keberlanjutannya baik ekonomi, sosial, bahkan lingkungan.
"Bukan hal yang mustahil sumber daya ikan Indonesia menjadi incaran dunia," katanya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menyatakan, dorongan dan hasil pertemuan G20 yang berlangsung di Hamburg, Jerman, jangan sampai menghambat pencapaian kebijakan ekonomi nasional.
"Jangan sampai, reformasi kebijakan perdagangan dan investasi ini nantinya akan menghambat pencapaian paket kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan daya saing nasional," kata Rachmi Hertanti.
Menurut dia, dorongan G20 untuk mendisiplinkan sejumlah regulasi domestik untuk selaras dengan kebijakan perdagangan dan investasi internasional akan semakin mempersempit ruang kebijakan pemerintah Indonesia.