Rabu 28 Jun 2017 17:09 WIB

Parmusi: Pertemuan Presiden Jokowi-GNPF Jadi Kemajuan

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (PP PARMUSI), Usamah Hisyam saat melakukan pernyataan sikap terhadap aksi kampanye LGBT di Jakarta, Jumat (19/2). (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (PP PARMUSI), Usamah Hisyam saat melakukan pernyataan sikap terhadap aksi kampanye LGBT di Jakarta, Jumat (19/2). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia (PP Parmusi) Usamah Hisyam mengapresiasi langkah yang dilakukan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) saat menemui Presiden Joko Widodo di Istana, Ahad (25/6). Dia menilai, pertemuan tersebut sebagai suatu kemajuan.

Usamah menyatakan, di tengah situasi umat saat ini sangat perlu adanya usaha yang dilakukan untuk menemukan solusi yang tepat bagi semua pihak atau win win solution. Namun, Usamah juga menyesalkan karena pertemuan tersebut digelar di Istana, yang dinilai tidak netral.

"Dalam proses negosiasi itu, ulama seharusnya tidak mendatangi pemerintah tapi agar win win solution maka pertemuan tersebut diluar Istana saja," kata Usamah saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (26/6).

Ke depan, Usamah memandang perlu digelar pertemuan lanjutan dengan pemerintah. Namun, pada pertemuan selanjutnya harus pula melibatkan seluruh komponen, seperti perwakilan eksponen umat yang terlibat dalam aksi 212, perwakilan dari GNPF, Pimpinan ormas Islam dan cendekiawan muslim yang selama ini konsisten dalam perjuangan.

"Ini yang harus ditempuh, seluruh elemen tersebut bertemu dengan presiden dan bersama-sama mencari solusi terbaik," tegas Usamah.

Sebelumnya diberitakan, pertemuan antara Presiden dan perwakilan GNPF-MUI digelar tertutup pada Ahad (25/6) di Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, ketua GNPF-MUI Bachtiar Nasir menyampaikan situasi kekinian dalam hubungannya antara pemerintah dan ulama, khususnya pada masa Pilgub DKI Jakarta dan pasca Pilgub, karena dinilai adanya kesenjangan yang begitu kuat dari satu pihak dan pihak lainnya.

Selain itu, Bachtiar juga menyampaikan, adanya suasana paradoksial. Pada satu sisi Pemerintah berpendapat tidak melakukan kebijakan bersifat menyudutkan umat Islam, tapi di sisi lain GNPF menangkap perasaan umat Islam yang merasa dibenturkan dengan Pancasila, NKRI dan kebhinekaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement