Rabu 21 Jun 2017 14:15 WIB

Defisit BPJS, Puan: Bangun Cara Gotong Royong

Menko PMK, Puan Maharani
Foto: Istimewa
Menko PMK, Puan Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Upaya pengendalian defisit keuangan DJS Program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN – KIS) terus dilakukan. Salah satunya dengan membangun cara gotong royong antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan anggaran yang kurang dari BPJS Kesehatan.

 "Kita sedang dalami opsi mengendalikan defisit anggaran BPJS dengan sistem gotong royong. Dalam hal ini antara pemerintah pusat dan daerah bersama-sama mendorong pemenuhan anggaran dari BPJS Kesehatan yang kurang," ujar Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani usai memimpin rapat tingkat menteri membahas tindak lanjut pengendalian defisit keuangan DJS Program JKN-KIS di Jakarta, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/6).

Rapat sendiri dihadiri Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, serta Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris.

Puan menjelaskan, salah satu contoh cara gotong royong itu adalah dengan mensinkronkan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Ada 34 provinsi dan 531 kabupaten/kota bisa bersinergi bersama-sama mengatasi masalah defisit anggaran BPJS Kesehatan ini.

"Pemda bisa kita dorong mengalokasikan APBD untuk anggaran kesehatan yang sesuai.  Seharusnya anggaran pusat 5 persen di sana (pemda) minimal 10 persen dari APBD. Intinya defisit BPJS Kesehatan ini kita pikul sama-sama dalam gotong royong sehingga tidak terasa berat," jelas Puan.

Ia juga menegaskan bahwa apa pun kondisinya, pemerintah pusat tetap berkomitmen kuat untuk menjalankan program BPJS Kesehatan agar pelayanan kepada masyarakat semakin baik. 

"Kita lakukan pembenahan juga agar masyarakat bisa memperoleh obat dan pelayanan kesehatan yang sesuai dan tepat waktu. Agar tak ada keluhan dari masyarakat," jelasnya.

Menurut Puan, saat ini perlu juga dilakukan survei dan evaluasi dari pelaksanaan BPJS Kesehatan yang sedang berjalan agar bisa diketahui pada sisi mana saja permasalahan terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. "Hal ini penting dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyatakat," ujar Puan.

Pada kesempatan sama, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan bahwa defisit BPJS Kesehatan memang terjadi, yakni antara pendapatan dengan beban tidak seimbang.

Fachmi menjabarkan, tarif untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) atau masyarakat yang mendapatkan subsidi pemerintah, baik APBN maupun APBD, ditetapkan pemeintah senilai Rp23.000. Angka ini tentu kurang karena berdasarkan perhitungan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2015, tarifnya seharusnya mencapai Rp36.000. 

"Jadi dari sini terlihat adanya selisih sekitar Rp13.000 untuk segmen JKN-KIS yang total pesertanya hingga awal 2017 Mei mencapai 92 juta jiwa. Defisit juga terjadi pada peserta kelas 2. Yakni sekitar 12.000 per kepala sedangkan kelas 3  minus sekitar Rp27.500 per kepala," jelas Fachmi.

"Inilah kondisinya yang sedang dicarikan solusi. Salah satunya adalah memakai pajak rokok 10 persen dari cukai yang masuk. Kalau itu digunakan, misalnya 50 persen pajak rokok dari cukai yang masuk secara nasional maka sudah selesai. Namun opsi pajak rokok ini ditutup aturannya. Tapi belum dikunci sehingga kita bisa lihat celah hukumnya nanti. Bulan Agustus ini kita bahas lagi," terang Fachmi Idris.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement