REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting berpendapat, dalam konteks kewenangan, penggunaan Hak Angket terhadap KPK akan bertentangan dengan independensi lembaga antirasuah tersebut dalam memberantas korupsi. Apalagi, terdapat konflik kepentingan di antara pengusung dan anggota Pansus Hak Angket.
"Oleh karenanya, tidak salah muncul kesan bahwa ini bukan aspirasi rakyat (konstituen) melainkan aspirasi para anggota Pansus Hak Angket sendiri," kata Miko dalam pesan singkat yang diterima Republika.co.id, Kamis (15/6).
Miko mengungkapkan, gangguan terhadap independensi KPK oleh Pansus Hak Angket bisa terbuka dari wacana permintaan informasi atau dokumen terkait pengungkapan perkara. Sebagaimana ketentuan Pasal 205 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan, KPK wajib hadir dan menyerahkan segala dokumen apabila dimintakan oleh Pansus Hak Angket.
Namun demikian, menurutnya KPK dapat saja menolak untuk memberikan informasi atau dokumen terkait perkara kepada Pansus Hak Angket. Sebab, terdapat ketentuan undang-undang lainnya yakni Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik yang menyatakan, materi penyidikan adalah dokumen yang bersifat dikecualikan untuk dapat diakses.
"Terdapat ketentuan undang-undang lainnya Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik yang menyatakan bahwa materi penyidikan adalah dokumen yang bersifat dikecualikan untuk dapat diakses," ucap Miko.