Rabu 14 Jun 2017 16:41 WIB

Ini Alasan Anak Bisa Jadi Pelaku Kejahatan

Rep: Kabul Astuti/ Red: Ratna Puspita
Warga binaan Lembaga Permasyarakatan Anak Pria bersiap mengikuti Kajian Ramadhan di LP Anak Pria, Kota Tangerang, Banten, Senin (12/6).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Warga binaan Lembaga Permasyarakatan Anak Pria bersiap mengikuti Kajian Ramadhan di LP Anak Pria, Kota Tangerang, Banten, Senin (12/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur makin serius. Awal pekan ini, misalnya, tiga bocah yang masih remaja melakukan aksi perampokan disertai pembunuhan sadis di Lampung, Sumatera. 

Ketiga pelaku warga Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan berinisial IS (17 tahun), HC (18 tahun), dan ES (19 tahun).

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto, mengatakan fenomena ini lahir dari perilaku orang dewasa yang ditiru oleh anak-anak. Setiap perilaku anak diperoleh melalui proses belajar. Kerapkali, proses belajar yang diberikan kepada anak-anak, mulai dari kecil sampai remaja, adalah proses belajar yang penuh dengan cara kekerasan.

Kak Seto memaparkan anak-anak sekarang belajar melakukan kekerasan lewat berbagai saluran. Di rumah, mereka dibentak orang tua, dijewer, bahkan kadang-kadang dipukul. 

Lingkungan sekolah, masyarakat, dan televisi juga banyak menghadirkan contoh-contoh kekerasan. Tanpa sadar, kepribadian ini tercetak pada anak-anak. Manakala anak frustrasi atau kecewa, Kak Seto melanjutkan, mereka pun akan melampiaskannya dengan cara kekerasan. 

"Jadi anak-anak tanpa sadar belajar melakukan berbagai tindak kekerasan. Inilah yang terbentuk menjadi karakter atau kepribadian anak," ujar Kak Seto, kepada Republika, Rabu (14/6).

Mereka melihat mulai dari pendidikan di tengah keluarga, pendidikan formal di sekolah, sampai pendidikan nonformal di masyarakat permisif terhadap aksi kekerasan. Tak heran, begitu ada kesempatan, anak-anak juga melakukan kekerasan, termasuk merampok dan membunuh.

Kak Seto menambahkan, kesenjangan sosial ditengarai turut memicu anak-anak melakukan aksi kekerasan. Anak-anak merasa frustrasi atas kondisi yang mereka hadapi. 

Meski begitu, Kak Seto lagi-lagi mengingatkan, kuncinya tetap ada pada pendidikan keluarga dan lingkungan sekitar. Anak yang tidak dididik dengan kekerasan, walaupun menderita dan mengalami kesenjangan sosial cenderung bisa bersikap lebih baik. 

Mereka tetap bisa berprestasi dan bekerja keras. Kak Seto berpendapat solusinya harus dimulai dari tindakan orang dewasa. Orang dewasa harus berhenti melakukan aksi kekerasan terhadap anak.

"Solusinya, mulailah kita semua setop kekerasan pada anak. Anak-anak ini merasakan, (kalau) saya juga dikerasi. Akhirnya sakit hati, dendam, semua muncul terbentuk dalam kepribadian mereka," imbuhnya. 

Kak Seto menyarankan proses peradilan yang bersifat rehabilitasi terhadap pelaku anak-anak.

Berbeda dengan Kak Seto yang memosisikan anak sebagai korban lingkungan, Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia sekaligus Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel justru mendukung revisi UU Sitem Peradilan Anak yang kontroversial. 

Fokus revisi tersebut, anak-anak yang melakukan kejahatan jenis tertentu dapat diproses hukum laiknya orang dewasa. "Kontroversial? Dalam situasi segetir ini, silakan pilih public safety atau child welfare," ujar Reza.

Reza mengaku khawatir atas fenomena anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan. Misalnya, ikut geng motor, menyebar ujaran kebencian di medsos, serta melakukan pembunuhan dan perampasan kendaraan bermotor. 

Kendati demikian, Reza tetap tidak sepakat ekploitasi gambar anak-anak yang melakukan kejahatan di media sosial. Dia mengatakan tidak selayaknya otoritas penegakan hukum 'memajang' pelaku yang berusia anak-anak di muka media dan publik. 

 

Ini terjadi pada kasus tiga pelaku perampokan dan pembunuhan di Lampung. Menilik foto yang beredar di media, Reza memperkirakan usia pelaku belum genap 17 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement