Rabu 31 May 2017 21:08 WIB

Jimly: Pilpres tidak Perlu Pakai Threshold

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ratna Puspita
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie (tengah), didampingi anggota DKPP saat memimpin sidang putusan pelanggaran Kode etik KPU di kantor DKPP, Jakarta, Rabu (10/5).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie (tengah), didampingi anggota DKPP saat memimpin sidang putusan pelanggaran Kode etik KPU di kantor DKPP, Jakarta, Rabu (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengatakan pemilihan presiden digelar serentak dengan pemilihan legislatif. Karena itu, pilpres tidak perlu lagi menerapkan ambang batas atau threshold.

"Semua partai yang punya hak untuk menjadi peserta pemilu otomatis dia punya hak, bahwa dia gak pakai haknya itu soal lain," kata dia di Kantor Wakil Presiden, Rabu (31/5). 

Jimly mengatakan ketiadaan ambang batas merupakan kondisi ideal. Sebab, threshold justru karena dapat merusak tatanan pluralitas kebangsaan. 

Jimly juga mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir ada banyak kandidat pada Pemilihan Presiden 2019. Sebab, hal tersebut sah-sah saja karena justru berdampak baik bagi keterwakilan setiap kelompok masyarakat dalam pilpres. 

Menurut Jimly, pluralitas bangsa harus mendapatkan saluran. "Intinya kita gak usah terlalu takut juga akan terlalu banyak calon presiden," ujar dia.

Selain itu, Jimly mengatakan berapapun jumlah calon pada putaran pertama tidak akan berpengaruh pada putaran kedua. Kandidat yang lolos ke ronde kedua hanya dua pasangan. Dia mencontohkan jika ada 10 calon pada putaran pertama maka delapan orang akan tereliminasi. "Ronde kedua cuma dua (pasangan yang lolos)," kata Jimly. 

Jimly juga berpendapat ambang batas bertentangan dengan konsep ideal dua putaran yang disebutkan dalam konstitusi. Penerapan ambang batas dapat berpotensi pelanggaran terhadap UUD 1945. 

"Tapi kalau threshold-nya itu enggak terlalu tinggi, tetap memungkinkan pluratitas calon, itu tidak menganggu konstitusional, itu masuk dalam soal political choice," ujar Jimly. 

Penerapan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold direncanakan masuk dalam amandemen Undang-Undang Pemilihan Umum. Namun, rencana ini mendapat kritikan dari berbagai pihak. 

Salah satu pihak yan bersuara kencang menentang presidential threshold, yaitu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem menyatakan ambang batas pencalonan presiden sudah tidak mungkin diterapkan karena Pilpres dan Pileg 2019 berlangsung serentak. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement