Selasa 16 May 2017 21:38 WIB

Praperadilan Miryam, KPK: Kita Berharap Ada Putusan Progresif

Rep: Santi Sopia/ Red: Bayu Hermawan
 Juru Bicara KPK, Febri Diansyah memberikan paparan kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah memberikan paparan kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara KPK Febri Diansyah menegaskan penetapan tersangka terhadap Miryam S Haryani (MSH) atas kesaksian palsu dalam perkara kasus korupsi KTP-el adalah sah dan sudah sesuai prosedur. Febri menyebut penetapan tersangka terhadap MSH sudah sesuai UU 30 Tahun 2002.

"Misalnya persediaan bukti permulaan yang cukup dan juga bukti lainnya. Kita juga tidak ingin praperadilan ini untuk menguji bukti-bukti yang sifatnya substansial yang seharusnya diuji di persidangan pokok Tipikor," ujar Febri di Gedung KPK, Selasa (16/5).

KPK menyatakan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap MSH dengan Pasal 22 Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK percaya hakim memahami konteks tersebut apalagi kasus ini terkait secara langsung dengan kasus yang lebih besar yaitu kasus korupsi KTP-el.

"Jadi kita berharap ada keputusan progresif dari hakim sehingga kami bisa mengungkap kasus KTP-el lebih leluasa lagi ke depannya," katanya.

Ia mengatakan penyidikan tersangka MSH terus dilakukan, di samping prapedilan tersangka yang akan terus KPK hadapi. Ada waktu sekitar tujuh hari untuk KPK mempersiapkan bukti-bukti dan kemudian hakim akan mempertimbangkan.

KPK melakukan upaya, kegiatan penyidikan seperti pemeriksaaan saksi dan pemeriksaan tersangka. Menurut Febri, hakim juga telah menyatakan bahwa domain kewenangan praperadilan tidak sampai pada menghentikan proses persidangan atau menghentikan proses penyidikan yang sedang berjalan.

Adapun Febri menambahkan pada dasarnya argumentasi yang disampaikan oleh pemohon dalam hal ini MSH ada dua hal. Pertama KPK tidak berwenang menggunakan pasal 22 jo 35 UU Tipikor dan kedua, KPK menetapkan sebagai tersangka dengan tidak memiliki minimal dua alat bukti.

Padahal, kata Febri, untuk penggunaan pasal 22 sudah banyak KPK gunakan hingga berkekuatan hukum tetap. Bahkan hakim hingga di tingkat MA mengatakan penggunaan Pasal 21, Pasal 22 dan seterusnya merupakan kewenangan dari KPK karena berada dalam UU Tipikor. Jadi itu bukan dikategorikan sebagai tindak pidana umum.

Sementara terkait minimal dua alat bukti, meskipun KPK tidak mungkin masuk ke pokok perkara, tapi tentu KPK akan menunjukkan pada hakim bahwa penetapan tersangka sudah sesuai ketentuan UU 30 Athun 2002.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement