REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter Bimanesh Sutardjo divonis tiga tahun penjara ditembah denda Rp150 juta, subsider satu bulan kurungan, karena terbukti merintangi pemeriksaan terhadap Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el). Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Mengadili, menyatakan terdakwa Bimanesh Sutardjo telah terbukti secara sah dan meyainkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama merintangi perkara penyidikan korupsi. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp150 juta, dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama satu bulan," kata Ketua Majelis Hakim Mahfudin dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (16/7).
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta agar majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama enam tahun ditambah denda sebesar Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan. Putusan itu diputuskan oleh majelis hakim Mahfudin, Saifuddin Zuhri, Duta Baskara, Sigit Herman Binaji dan Titi Sansiwi berdasarkan dakwaan pasal 21 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemberantasan korupsi dan merusak citra profesi dokter; hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan, belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga, berjasa di bidang eksehatan dan mendapat banyak bintang jasa," kata hakim anggota Sigit.
Bimanesh Sutardjo sebagai dokter spesialis penyakit dalam di RS Medika Permata Hijau dinilai terbukti bersama-sama dengan advokat Fredrich Yunadi melakukan rekayasa pemeriksaan agar merintangi Setya Novanto diperisa dalam perkara KTP-el. Fredrich meminta bantuan agar Setya Novanto dapat dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dengan diagnosis menderita beberapa penyakit salah satunya hipertensi. Bimanesh menyanggupi untuk memenuhi permintaan Fredrich meski tahu bahwa Setnov memiliki masalah hukum dalam kasus korupsi proyek KTP-E.
Bimanesh menghubungi Plt Manajer Pelayanan Medik RS Medika Permata Hijau dokter Alia melalui telepon agar disiapkan ruang VIP untuk rawat inap pasiennya Setya Novanto. Dokter Alia lalu mengatakan kepada dokter Michael Chia Cahaya yang saat itu bertugas sebagai dokter jaga di IGD bahwa akan masuk pasien bernama Setnov dengan diagnosis penyakit hipertensi berat.
Dokter Michael menolak karena untuk mangeluarkan surat pengantar rawat inap dari IGD harus dilakukan pameriksaan dahulu terhadap pasien. Selain itu, Fredrich juga menemui dokter Alia untuk melakukan pengecekan kamar VIP 323 sekaligus meminta dokter Alia agar alasan masuk rawat inap Novanto yang semula adalah penyakit hipertensi diubah dangan diagnosis kecelakaan.
Bimanesh kemudian membuat surat pengantar rawat inap manggunakan form surat pasien baru IGD, padahal dia bukan dokter jaga IGD. Sekitar pukul 18.45 WIB, Novanto tiba di RS Medika Permata Hijau dan langsung dibawa ke kamar VIP 323 sesuai dengan surat pengantar rawat inap yang dibuat terdakwa. Fredrich lalu memberikan keterangan kepada pers bahwa Setnov mengalami luka parah dengan beberapa bagian tubuh, berdarah-darah serta terdapat benjolan pada dahi sebesar bakpao, padahal Setnov hanya mengalami beberapa luka ringan pada bagian dahi, pelipis kiri dan leher sebelah kiri serta lengan kiri.
Pada 17 November 2017, penyidik KPK hendak menahan Setnov setelah sebelumnya berkoordinasi dengan tim dokter di RS Medika Permata Hijau yang secara bergantian memeriksa kondisi Setnov lalu Setnov dibawa dari RS ke kantor KPK untuk dimintai keterangan sebagai tersangka dan ditahan di rutan KPK. "Keberatan penasihat hukum yang mengatakan seharusnya penuntut umum membuktikan dulu apakah kecelakaan Setya Novanto murni atau rekayasa tidak menghilangkan fakta hukum bahwa terdakwa memfasilitasi Fredrich Yunadi untuk merawat Setnov padahal Setnov sedang bermasalah dalam pengadaan e-KTP, tapi terdakwa tidak melaporkan ke KPK sehingga pemeriksaan terhadap Sentov terintangi," ungkap Hakim Sigit.
Hakim juga setuju dengan JPU KPK yang tidak memberikan status saksi yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) kepada Bimanesh. "Mengenai JC yang tidak dikabulkan KPK karena adanya penyangkalan terdakwa mengenai pertemuan dengan Michael Cia Cahaya sehingga tidak memenuhi syarat sebabagi JC tapi majelis mempertimbangkan sebagai keadaan yang meringankan," kata hakim Sigit.
Atas vonis tersebut, Bimanesh menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari. "Yang mulia, kami akan pikir-pikir," kata Bimanesh.
Sedangkan JPU KPK juga menyatakan pikir-pikir. Terkait perkara ini, advokat Fredrich Yunadi divonis tujuh tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider lima bulan.