Ahad 14 May 2017 08:10 WIB

Melatih Otak Tahan Banting

otak manusia
Foto:
Sketsa struktur otak manusia. Bulatan merah menunjukkan posisi amigdala, bagian otak yang memproses rasa takut pada manusia

Memang otak kita mudah tertarik pada hal-hal baru. Tetapi otak kita jauh lebih suka pada segala sesuatu yang sudah kita kenal akrab. VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) yang dirasakan akhir-akhir ini akibat digital disruption, dianggap membawa terlalu banyak hal baru, asing, kompleks, dan tidak pasti. 

Terlalu banyak mengandung hal baru yang kompleks dalam disruption membuat otak kita kewalahan. Maka disruption yang semula mungkin dianggap menarik, kini dipersepsikan sebagai sebuah sumber bahaya. 

Begitu mencium bahaya, amygdala di sistem otak limbik kita terpancing aktif luar biasa. Lantas keluarlah zat kimia adrenalin yang membuat kita siap segera bertindak dan kortisol yang merupakan penanda hadirnya stres dalam diri. Kehadiran adrenalin dan kortisol ini merupakan mekanisme pertahanan diri (self-defense) otak kita dengan respons fight or flight.

Demi bisa bertahan, sebagian dari kita berusaha mengabaikan perubahan dengan berbagai pembenaran logika. Inilah respons flight pada otak manusia. Misalnya saja mengabaikan perubahan karena menganggap digital disruption masih jauh dan belum akan mengancam industri di mana kita berada. Kondisi ini disebut digital ignorance. Bank yang tutup mata terhadap keberadaan fintech, tidak bersiap-siap untuk bertransformasi digital sedari dini, adalah sebuah bentuk pengabaian. 

Hati-hati. Pengabaian bisa berbahaya dan menyebabkan kejatuhan. Kasus yang paling nyata adalah tutupnya rangkaian outlet penyewaan video di Amerika Serikat, Blockbuster, yang mengabaikan kehadiran Netflix. Pada 2000 ketika Blockbuster menjadi raksasa yang nyaris tanpa lawan di industri penyewaan video, CEO Blockbuster menolak tawaran Netflix yang masih bayi untuk membeli saham Netflix. Tanda-tanda perubahan akibat teknologi internet diabaikan, karena arogansi sebagai market leader. 

Hanya dalam waktu beberapa tahun saja, pasar Blockbuster mulai tergerus dan pendapatan terus merosot. Era internet membuat Netflix menemukan momentum untuk melejit. Tanpa disadari, industri penyewaan video sudah ter-disruptoleh industri penyewaan film online yang dirintis oleh Netflix. 

Bukan saja lebih praktis karena tidak perlu datang secara fisik ke outlet, sistem pricing-nya pun berbeda karena Netflix menawarkan paket berlangganan per bulan berapapun film yang ditonton. Jauh berbeda dengan sistem Blockbuster yang menyewakan per keping VCD. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement