Jumat 12 May 2017 18:34 WIB

Tiga Isu Krusial RUU Pemilu Diharapkan tak Divoting dalam Paripurna

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ilham
Paripurna DPR. (ilustrasi).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Paripurna DPR. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada sejumlah isu krusial Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu yang belum juga disepakati Pansus Pemilu. Isu krusial tersebut adalah penentuan sistem pemilu, parliamentary threshold dan presidential threshold.

Anggota Pansus RUU Pemilu, Fandi Utomo berharap, isu tersebut dapat diputuskan dalam forum musyawarah Pansus Pemilu atau cukup dilakukan voting di Pansus tanpa Pansus Paripurna. "Saya berharap voting tidak sampai paripurna, kita dorong supaya ini cukup di Pansus saja, kan nyangkut RUU Pemilu sehingga nggak ada catatan di paripurna," kata Fandi saat diskusi bertajuk 'Membangun Sistem Pemilu yang Demokratis dan Berkeadilan' di Kawasan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta pada Jumat (12/5).

Fandi meyakini, pemerintah dan fraksi-fraksi juga menghendaki agar penyelesaian isu krusial tersebut diselesaikan oleh forum Panssu Pemilu. Namun demikian, ia memastikan bukan berarti terjadi barter isu-isu krusial antara fraksi-fraksi dan pemerintah. "Tidak berarti ada tukar-tukaran pasal, tapi ada yang memang bisa ditolerir untuk membuat ruang terjadinya mufakat dimungkinkan dalam pansus," kata Fandi.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI tersebut menyebut, terkait sistem pemilu, dua fraksi menghendaki sistem pemilu tertutup, sementara delapan sisanya termasuk fraksi partai Demokrat menghendaki sistem pemilu terbuka. Meski kemudian dua fraksi pendukung sistem pemilu tertutup mengusulkan jalan tengah, yakni sistem pemilu terbuka terbatas. "Namun kalau terbuka terbatas ini kan kalau di judicial review ya sama saja, yakni proporsional terbuka tapi pembatasan," kata Fandi.

Sementara, terkait parliamentary threshold masih berkutat di angka 3,5, 5, 7, dan 10 persen. "Yang 3,5 ini fraksinya cukup banyak. Tapi Pemerintah sendiri mengusulkan ada kenaikan PT tapi sekitar di 4,5 pemerintah berada di posisi itu," katanya.

Begitu halnya presidential threshold yang masih terjadi tarik menarik antara 0 persen, 20 persen (UU Pemilu lama) dan 25 persen usulan beberapa fraksi. Fraksi Demokrat sendiri menyetujui jika PT O persen.

"Nah bagi yang usulkan di atas 20 persen. Ini seperti mau menyandera calon presiden. Karena nggak ada partai yang memperoleh di atas 20 persen sebetulnya, maka sistem pemilu presiden kita, yakni calon presiden kita akan tersandera kalau tidak koalisi," katanya.

Anggota Komisioner KPU periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay menilai, DPR dan pemerintah semestinya konsisten dalam menyusun sistem pemilu, apakah hendak tertutup atau terbuka. Hal ini agar jangan memunculkan alternatif lain seperti sistem pemilu terbuka namun terbatas yang justru membingungkan. "Kita pernah pengalaman kita tertutup ya, lalu kita terbuka, yang betul-betul terbuka. Maksud proporsional dengan terbuka itu suara dipilih oleh masyarakat. Harusnya konsisten saja di situ, jangan dibatas-batasi," katanya.

Ia menambahkan, kalau memang menghendaki berdasarkan partai ya menggunakan sistem pemilu tertutup. Karenanya, perlu dipertegas sistem pemilu apakah hendak terbuka atau tertutup, bukan campuran keduanya. "Kalau kita terapkan seperti yang ramai belakangan ini proporsional terbuka terbatas, maka kasihan suara masyarakat yang memilih pasangan calon itu. Ini merusak sistem. Jadi berhenti dengan gagasan ini," kata Hadar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement