REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepolisian Republik Indonesia dianggap diskriminatif dalam mengamankan aksi massa pendukung terpidana penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan aksi damai yang dilakukan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI beberapa waktu lalu. Massa pendukung Ahok dapat melakukan aksi hingga larut malam di depan Lapas Cipinang (9/5) dan di depan Pengadilan Tinggi DKI (10/5), sedangkan gas air mata sempat menghujani massa aksi umat Islam di depan Istanah beberapa waktu, meski matahari baru tenggelam.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan, harusnya semua pihak dapat menghargai keputusan yang sudah dilakukan oleh hakim dalam sidang vonis kasus penodaan agama itu. Tapi, aksi unjuk rasa pendukung Ahok menunjukan mereka tidak terima. "Kalaupun unjuk rasa tidak boleh dibiarkan berlarut-larut sampai malam," ujar Bambang kepada Republika.co.id di Jakarta, Kamis (11/5).
Polri, menurutnya sering mengatakan bahwa aksi unjuk rasa tidak boleh dilakukan melebihi pukul 18.00 WIB. Hal ini pun ditegaskan jajaran kepolisian dalam aksi bela Islam di depan Istanah beberapa waktu lalu yang sempat dibubarkan paksa.
Bahkan, kata dia, saat aksi bela Islam itu polisi harus mengeluarkan gas air mata kepada peserta aksi agar dapat membubarkan diri. Namun, polisi seakan tidak berdaya dan tak menjalani aturan menghadap massa pendukung Ahok.
"Jadi kenyataan itu menunjukkan indikasi ada perbedaan perlakuan yang dilakukan Polri terhadap kelompok-kelompok pendemo, diskriminatif," kata Bambang.
Seharusnya, kata Bambang, polisi harus adil dalam menegakkan aturan dalam berunjuk rasa. Namun sayang, dalam sudut pandangnya, ketidakadilan yang dilakukan oleh jajaran kepolisian ini sudah terjadi berulang kali. "Kondisi ini sudah berkali-kali terjadi, MK, Presiden, Menko Polhukam harus mengingatkan Kapolri," kata Bambang.
Kadiv Humas Polri, Irjen Setyo membantah jika polri dianggap diskriminatif. Menurutnya, tidak ada perlakukan diskriminatif dari Polri dalam pengamanan kepada massa pendukung Ahok dan aksi bela Islam. "Enggak ada (diskriminatif), semuanya sama, hanya tahapan-tahapan belum sampai di situ," kata Setyo.
Menurutnya, dalam penggunaan gas air mata dalam pengamanan aksi pun ada tahapan-tahapannya. Jika peserta aksi dapat diajak berdialog untuk membubarkan diri dan tidak menimbulkan kegaduhan yang mengarah pada kericuhan, maka gas air mata tidak akan digunakan. "Iya, jadi kita ada tahapan-tahapannya, negosiasi dulu, kalau negosiasi berhasil dan bubar ya sudah," ungkapnya.
Setyo mengatakan, dalam aksi yang dilakukan Ahokers dua malam ini, polisi sudah berupaya untuk meminta mereka membubarkan diri, melakukan dialog, hingga akhirnya dapat dibubarkan. "Semalam itu bukan kita izinkan, sebenarnya sudah kita upayakan terus untuk bubar, tapi mereka masih bertahan. Kan kita tidak bisa langsung dorong, dibubarkan dengan kekerasan. Kan kita ada tahapan-tahapannya," kata Setyo.
Seperti diketahui, aksi pendukung Ahok di depan LP Cipinang pada Selasa lalu menolak membubarkan diri sebelum Ahok dibebaskan. Mereka bertahan hingga dini hari.