REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim memvonis Gubernur Pejawat DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus penodaan agama demgan hukuma pidana dua tahun penjara. Dalam perumusan itu, hakim menolak beberapa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Majelis Hakim yang diketuai oleh Dwiarso Budi Santiarto menolak JPU yang menyatakan bahwa kalimat Ahok di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 silam tidak terdapat unsur kesengajaan. Perkataan Ahok berupa 'Dibohongi pakai surar Al-Maidah macam-macam itu' menurut majelis hakim telah diuraikan dan ada unsur kesengajaan sehingga meresahkan masyarakat.
"Pengadilan tidak sependapat dan telah menguraikan kesengajaan (kata tersebut)," kata Majelis hakim pada pembacaan putusan di Auditorium Kementerian Pertanian Ragunan Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
Pidana bersyarat atau percobaan hukuman yang diajukan JPU juga ditolak oleh majelis hakim. JPU mengajukan pidana satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan. Majelis hakim menyatakan jika JPU justru telah mencantumkan hal-hal yang memberatkan dalam pengajuan pidana itu. Majelis hakim pun tidak sepakat dengsn pengajuan JPU.
"Maka tidak tepat jika hukuman percobaan diajukan pada terdakwa Ahok," ujar majelis hakim.
Disamping itu, pembelaan terdakwa yang diajukan pembela juga tidak diterima hakim. Pembela menyatakan kasuz ini berkaitan dengan Pilkada DKI Jakarta. Namun majelis hakim membantah hal itu. "Pembelaan terdakwa tidak memenuhi argumen yuridis," kata majelis hakim melanjutkan pembacaan putusan.
Akhirnya Ahok pun dijatuhi hukuman pidana oleh majelis hakim dengan tuntutan dua tahun penjara. Putusan itu diiringin dengan penetapan penahanan untuk Ahok. Akhirnya Ahok pun digiring ke Rutan Cipinang Jakarta Timur.