REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris berharap pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara jadi pertimbangan utama hakim dalam mengadili perkara Buni Yani yang akan digelar tidak lama lagi. Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakut secara tegas menolak pendapat Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) serta penasihat hukumnya.
Pihak Ahok menuduh Buni Yani sebagai biang keresahan dan kegaduhan di masyarakat akibat pidato Ahok yang meyinggung Alquran di Kepuluan Seribu. “Pernyataan hakim dan vonis hari ini membuat sangkaan kepada Buni Yani, yaitu pencemaran nama baik dan penghasutan yang berbau SARA dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun tidak relevan lagi," kata Fahira, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id.
Namun demikian, proses peradilannya sudah berjalan. Sehingga Fahira menilai semua harus menunggu hakim yang memutuskan. "Dan saya yakin pembelaan majelis hakim kepada Buni Yani pada sidang hari ini akan menjadi pertimbangan persidangan yang akan mengadili Buni Yani nanti. Mudah-mudahan Buni Yani akan bertemu dengan keadilan,” kata dia.
Fahira menegaskan, yang menimbulkan keresahan di masyarakat bukanlah karena unggahan Buni Yani. Menurutnya, yang buat masyarakat resah itu adalah ucapan Ahok yang diunggah Pemprov DKI Jakarta ke Youtube, bukan karena unggahan Buni Yani.
"Jadi tuduhan Buni Yani menghasut, patah dengan sendirinya. Tuduhan mencemarkan nama baik Ahok juga terbantah, karena yang bersangkutan sudah diputuskan pengadilan bersalah karena menodai agama," katanya. Saat ini, Buni Yani sedang menunggu jadwal persidangan.
Polisi dan jaksa menuduhnya telah melanggar Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ia diancam pidana maksimal enam tahun penjara atau denda paling banyak satu miliar rupiah karena telah mengunggah video pidato Ahok yang menyinggung Al-Maidah 51.