Senin 08 May 2017 10:47 WIB

Haedar Nasir: Ciptakan Pikiran Positif tentang NKRI

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Nur Aini
Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nasir
Foto: ROL/Wisnu Aji Prasetiyo
Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nasir

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir, menilai masyarakat Indonesia harus menata kembali pikiran positif tentang Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI).

“Selain itu, ada yang berpandangan adanya ancaman terhadap NKRI, karena ada gerakan kelompok Islam radikal, maka dimungkinkan akan muncul reaksi balik dari kawasan Papua, NTT, dan lain-lain,” katanya, Senin (8/5).

Menurutnya, akan muncul berbagai istilah kawan setia dan paling mendukung NKRI. Sebaliknya, ada yang dianggap kurang atau tidak setia, serta tidak pro-NKRI. Haedar mengatakan, pikiran dan pandangan yang mengesankan situasi gawat seperti itu justru dapat berpotensi menciptakan psikologi kegawatan dalam berbangsa dan bernegara. Jika pendapat negatif seperti ini terus diproduksi, dia menilai dua pihak warga bangsa yang berbeda akan saling berhadapan dalam kondisi yang negatif.

Haedar mengatakan dua pihak tersebut seperti mayoritas versus minoritas, pemeluk agama satu dengan peneluk agama lain, satu etnis dengan etnis lain, dan kelompok radikal satu dengan kelompok radikal yang lain. “Mau sampai kapan seperti ini? Kita sadar terdapat sejumlah masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun jika berpikir lebih jernih dan objektif, permasalahan yang berkembang masih bisa diatasi dan terus didialogkan untuk dicarikan solusi,” tutur Haedar.

Ia mengemukakan, dalam Pilkada DKI memang ada masalah yang berkaitan dengan relasi politik, sentimen agama, dan etnik. Namun, masalah lain ikut menjadi pemicu, seperti faktor personalitas dan kesenjangan sosial. Karena itu, Haedar menyarankan agar masyarakat mengkaji lebih dulu setiap peristiwa dengan seksama dan komprehensif. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah kemunculan pandangan-pandangan dangkal. Di mana dengan kondisi tersebut, muncul politisasi dalam beragam bentuk, termasuk dramatisasi situasi.

Dramatisasi itulah yang sering memicu masalah baru dan memperluas masalah. Hal ini kemudian menimbulkan kepanikan maupun kesan suasana gawat yang tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan faktual atau apa adanya.

“Maka, hendaknya perlu dihentikan pikiran-pikiran yang cenderung menggawatkan atau mendramatisasi keadaan disertai pandangan yang ekstrem, provokatif, dan berlebihan,” ujar Haedar. Ia mengimbau agar semua pihak kembali berpandangan moderat, objektif, dan mengirim pesan damai serta positif. Karena setiap masalah yang dihadapi dapat dikaji secara seksama dan dicarikan solusi bersama dalam suasana kondusif.

Haedar menegaskan, bangsa ini telah melawati banyak rintangan dan masalah besar sehingga memiliki modal sosial yang relatif mumpuni untuk melewati masalah-masalah baru. “Masalah harus dihadapi, tetapi jangan termakan situasi. Jangan sebarkan virus kecemasan dan kewaspadaan yang berlebihan, yang menciptakan psikologi kegawatan melebihi kemestian. Di sinilah pentingnya kedewasaan, kearifan, kejujuran, dan kecerdasan para pemimpin negeri,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement