Jumat 05 May 2017 04:11 WIB

Menegaskan Komitmen Demokrasi Pancasila Pasca-Pilkada Jakarta

Anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya mencari proyektil peluru saat melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di kediaman Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (4/5).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya mencari proyektil peluru saat melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di kediaman Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (4/5).

Oleh : DR Denny JA*

Dalam waktu dekat, bukan mustahil Indonesia akan terkoyak dan tidak stabil. Dalam waktu tak lama, bukan tak mungkin demokratisasi di Indonesia yang dimulai sejak Reformasi 1998 mengalami break-down dan kemunduran yang signifikan. Indonesia akan berada dalam ketidak pastian yang berlarut dan memundurkan semua pencapaiannya.

 Itu terjadi jika para elit yang berpengaruh di negri ini tidak meneguhkan komitmennya kembali pada demokrasi pancasila yang diperbaharui. Itu akan terbukti jika semakin tak ada aturan main bersama yang berwibawa, akomodatif, dan disepakati sebagai "the only game in town."

Para elit, politisi berpengaruh, pemimpin pemerintahan, pengusaha, pemimpin partai, pemimpin ormas berpengaruh, pemimpin organisasi keagamaan, intelektual dan opinion makers yang didengar, mereka semua boleh saja berbeda pandangan dan kepentingan. Itu hanya tidak bermasalah, sekali lagi, itu hanya tidak merusak, jika mereka semua bersepakat untuk tunduk pada aturan main yang sama dan dihormati.

Yang menjadi masalah jika aturan main bersama itu semakin kurang berwibawa, semakin dirasakan kurang akomodatif bagi perkembangan baru. Yang menjadi problem jika para elit ini jutru sedang menggugat aturan main bersama itu.  Akibatnya konflik kepentingan dan perbedaan persepsi para elit justru akan membawa Indonesia pada ambang kehancuran.

Inilah renungan terjauh refleksi dari ruang publik Indonesia paska pilkada Jakarta. Persaingan antar kandidat dalam pilkada sudah selesai. Hasil KPUD soal pilkada sudah disahkan. Namun konflik gagasan dan embrio platform  justru terus membara, berbeda bahkan bertentangan soal bagaimana aturan main bersama itu sebaiknya.

Tulisan ini renungan berisi empat pokok isu strategis paska pilkada Jakarta.  Pertama, menjelaskan aneka embrio platform yang berbeda dan saling bertentangan yang ada saat ini mengenai kemana Indonesia harus dibentuk. Aneka platform itu ikut bertarung mewarnai pilkada DKI 2017.

Kedua, argumen mengenai mengapa para elit perlu menegaskan komitmen pada demokrasi pancasila yang diperbaharui. Juga dijelaskan apa beda demokrasi pancasila yang diperbaharui dengan demokrasi Pancasila era Sukarno dan Suharto. Dijelaskan pula dimana bedanya Demokrasi Pancasila yang diperbaharui dengan demokrasi liberal yang kini berlaku di dunia barat.

Ketiga, penjelasan soal apa yang kurang dalam praktek demokrasi Indonesia saat ini agar mencapai platform ideal Demokrasi Pancasila yang diperbaharui itu.

Keempat, apa yang semua kita bisa kerjakan untuk ikut mengkonsolidasikan Demokrasi Pancasila yang diperbaharui

Selanjutnya perlu diketahui adanya empat platform gagasan yang terbaca ikut bertarung dalam pilkada Jakarta. Ada gagasan demokrasi modern seperti di negara maju yang sangat anti diskriminasi, dan juga sangat tidak suka dengan isu agama di ruang publik.

Ada juga gerakan yang mencoba menyelinap untuk mengajak Indonesia kembali ke sistem sebelum amandemen UUD 45. Mereka mencari momentum agar dalam pilkada DKI terjadi pula breakthrough untuk memasukkan gagasan kembali pada demokrasi pancasila lama. Istilah yang populer di kalangan ini, demokrasi yang dipraktekkan sekarang sudah kebablasan dan terlalu jauh.

Ada pula gerakan yang menjadikan momentum kasus Al Maidah untuk sekaligus memasukkan konsep negara Islam, atau setidaknya NKRI bersyariah. Ini gerakan yang menginginkan prinsip hukum agama semakin diterapkan dalam ruang publik.

Ada pula platform gagasan yang mempertahankan sistem demokrasi yang ada di Indonesia saat ini, namun perlu lebih diperbaharui. Kita sebut saja ini gagasan Demokrasi Pancasila yang diperbaharui.

Gagasan yang tidak berada di kubu Ahok hanya gagasan NKRI bersyariah ataupun negara Islam. Sedangkan di kubu Anies Baswedan, dan juga Agus Harimurti jauh lebih beragam. Semua penganut gagasan di atas juga berkumpul di belakang Anies dan Agus.

Selesai pilkada, empat gagasan itu terus bertarung. Dugaan saya puncak pertarungan empat gagasan itu justru nanti di pilpres 2019.

Sambil mendukung calon presidennya masing-masing, empat gagasan itu mencoba membuat agenda sendiri. Jika bisa membuat calon presiden berhutang budi pada mereka untuk menjadikan agenda gagasan itu sebagai program nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement