Jumat 05 May 2017 04:11 WIB

Menegaskan Komitmen Demokrasi Pancasila Pasca-Pilkada Jakarta

Anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya mencari proyektil peluru saat melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di kediaman Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (4/5).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Presiden Joko Widodo bersama Ibu Iriana menggunakan hak pilih pada Pilkada DKI Jakarta putaran ke-2 di TPS IV Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (19/4).

Langkah paling strategis paska pilkada Jakarta  mengajak para elit yang berpengaruh untuk menegaskan komitmen kembali pada Demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Dua alasannya. Mayoritas pemilih Indonesia ada di platform itu. Goresan agama yang mendalam pada batin publik Indonesia juga membuat platform itu lebih mengakar.

Demokrasi Pancasila yang diperbaharui pastilah berbeda dengan negara Islam model Timur Tengah. Berbeda pula, ia dengan Demokrasi Pancasila sebelum amandemen UUD 45. Namun ia berbeda pula  dengan demokrasi liberal yang dipraktekkan negara barat saat ini.

Survei nasional dilakukan LSI Denny JA sejak 2005 sampai 2016. Juga survei Jakarta yang dilakukan terakhir di bulan April 2017. Ketika ditanya, apakah ibu bapak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam seperti Timur Tengah, negara demokrasi liberal seperti negara barat, atau negara demokrasi pancasila (tak didefinisikan detail semua gagasan itu)?

Jawaban pemilih. sejak 2005 sampai kini tak banyak berubah. Yang inginkan negara Islam selalu di bawah 10 persen. Yang inginkan demokrasi liberal juga selalu di bawah 10 persen. Yang inginkan Demokrasi Pancasila selalu  di atas 70 persen.

Negara Islam tidak mengakar dalam batin rakyat Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam. Demokrasi liberal barat juga masih asing bagi mayoritas publik Indonesia. Demokrasi Pancasila itu yang diidealkan.

Jika soal Demokrasi Pancasila itu didetailkan, ingin kembali dalam sistem politik era Orde Baru tanpa kebebasan seperti sekarang, atau sistem demokrasi seperti sekarang? Mayoritas memilih Demokrasi seperti saat ini.

Negara Islam tidak akan cocok jika dipaksakan ke Indonesia. Ia ditolak oleh mayoritas pemilih Muslim sendiri. Dunia modern sudah pula sampai pada kultur citizenship. Siapapun warga negara, apapun agamanya, mereka punya hak politik yang sama dan perlindungan hukum yang sama. Negara modern tidak mendiskriminasikan hak warga negara semata karena identitas sosialnya, termasuk agama.

Demokrasi Pancasila era Soekarno dan Suharto juga tidak pas jika dipaksakan kembali berlaku. Dwi Fungsi militer, hadirnya utusan golongan yang tidak dipilih di MPR, presiden sebagai mandataris MPR, pembatasan pada kebebasan berasosiasi dan kebebasan berpendapat itu masa lalu. Mencoba membawa kembali Indonesia sebelum amandemen UUD 45 juga ditolak mayoritas pemilih dalam aneka survei nasional.

Demokrasi liberal ala barat dengan civil liberty yang penuh, dan ruang publik yang kurang friendly dengan agama juga tidak mengakar. Memaksakan demokrasi liberal justru akan membuat antipati publik luas atas prinsip demokrasi secara menyeluruh.

Harus diterima bahwa prinsip demokrasi hanya akan kuat jika ia dikawinkan dengan kultur lokal yang dominan di sebuah wilayah. Untuk kasus indonesia, goresan agama dalam batin masyarakat sangat dalam. Demokrasi yang ingin mengakar harus mengakomodasi kondisi itu dalam sistem kelembagaannya.

Hadirnya kementrian agama misalnya tak dikenal dalam demokrasi liberal barat. Namun untuk indonesia, kementrian agama sebuah kompromi yang seharusnya diambil. Evolusi kesadaran publik mayoritas Indonesia menghendaki pemerintah ikut mengurus agama publik. Itu yang tak ada dalam demokrasi liberal barat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement