Jumat 05 May 2017 04:11 WIB

Menegaskan Komitmen Demokrasi Pancasila Pasca-Pilkada Jakarta

Anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya mencari proyektil peluru saat melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di kediaman Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (4/5).
Foto: Republika/AlfanTiara Hilmi
Seorang pelanggan toko bunga Nanay Flora, Resa sedang memesan karangan bunga untuk Basuki Tjahaja Purnama, di Pasar Rawa Belong, Kamis (21/4).

Sungguhpun demikian, platform Demokrasi Pancasila yang diperbaharui perlu dikonsolidasikan. Tiga isu dibawah ini yang perlu ditambahkan agar Demokrasi Pancasila  yang diperbaharui itu bisa diterima sebagai "the only game in town." Ia akan diterima karena akomodatif terhadap aneka keberagaman yang ada.

Pertama, justru karena demokrasi ini memberikan peran agama yang lebih besar di ruang publik, perlu dibuat sebuah undang undang Perlindungan Kebebasan dan Umat bergama.

UU ini mengatur bagaimana Pancasila yang sentral dalam demokrasi dioperasionalkan di ruang publik. Dengan demikian, praktek dan keberagaman paham agama yang ada terlindungi sangat kuat, sebagaimana yang dipahat dalam sila pertama Pancasila.

Kementrian agama sudah mulai menyusun draftnya. Jika bisa, sebelum pilpres 2019, draft itu sudah disempurnakan dan final. Kita ingin dalam UU itu, aturan dibuat untuk lebih melindungi keberagaman agama dan kebebasan mereka beribadah dan bersosialisi di ruang publik.

Kedua, mengakomodasi luasnya spektrum gagasan yang ada dalam masyarakat. Sejauh itu semua masih dalam bentuk gagasan, ia dibolehkan belaka untuk hidup di ruang publik. Yang dilarang hanya gagasan yang merekomendasikan kekerasan seperti terorisme. Atau gagasan yang dipaksakan dengan kekerasan.

Akibatnya spektrum yang paling kanan dan yang paling kiri harus dibolehkan hidup. Melarang hak hidup gagasan, seberapapun ektremnya, kecuali yg merekomendasikan kekerasan dan kriminal, akan membuat aturan main bersama tidak akomodatif.

Misalnya, pemerintah dan para elit harus menerima adanya kebebasan beropini bagi yang paling kanan: gagasan negara Islam, dan yang paling kiri: gagasan LGBT, untuk menjadi wacana.

Semua negara demokrasi modern membolehkan hak hidup aneka gagasan selucu dan senorak apapun. Prinsipnya  ucapan Voltaire: Saya tak setuju pandangan tuan. Tapi hak tuan menyatakan pandangan itu akan saya bela.  Yang dibela bukan isi gagasan itu tapi hak hidupnya untuk ikut mewarnai dan bertarung di ruang publik.

Tak hanya pemerintah, tapi elit indonesiapun kadang tak siap dengan prinsip Voltaire itu. Misalnya mereka yang mengaku pro keberagaman. Ketika diskusi LGBT dilarang, mereka marah dan melawan. Tapi ketika diskusi HTI soal khilafah Islam dilarang, mereka senang dan mendukung.

Padahal prinsip Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Modern menjamin hak hidup aneka gagasan sejauh masih dalam bentuk gagasan, dan tidak menyerukan kekerasan ataupun tindakan kriminal.

Mengapa negara demokrasi modern bahkan membolehkan gagasan intoleran di ruang publik? Sangat simpel alasannya. Di samping itu bagian dari Hak Asasi Manusia, gagasan ekstrem dan intoleran itu tak pernah mendapatkan dukungan mayoritas. Gagasan itu berhenti hanya menjadi estalase keberagaman saja.

Ketiga, prinsip kedua itu harus juga diikuti tegaknya Law Enforcement aparatur negara. Ini sepenuhnya harus disadari pemerintah. Ketika demokrasi masih labih seperti sekarang, pemerintah harus hadir! Pemerintah harus tegas dan keras melindungi keberagaman itu. Jika tidak, kebebasan yang ada justru digunakan untuk menindas yang lemah.

Jadi inilah buah paling manis selesai pilkada Jakarta 2017. Lahir hikmah keharusan kita untuk meneguhkan kembali komitmen pada Demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Jika tidak, semua akan melawan semua.

Masing-masing kita bisa berperan sesuai dengan pengaruh dan kapasitasnya. Satu saja targetnya. Kita ingin Demokrasi Pancasila yang diperbaharui semakin lama semakin menjadi "the only game in town."

Dengan demikian, politik kita semakin stabil. Keberagaman gagasan yang ada juga terakomodasi, sesuai dengan evolusi kesadaran publik Indonesia.

Tentu saja konsep demokrasi pancasila yang diperbaharui di atas banyak kelemahannya. Tapi alternatif lain, akan lebih banyak lagi kelemahannya dan tidak mengakar. *

Mei 2017

* DR Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement