Kamis 04 May 2017 15:00 WIB

Advokat Muslim Minta Masyarakat Dukung Hakim Vonis Maksimal Ahok

Rep: Ali Yusuf/ Red: Agus Yulianto
 Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (Ilustrasi)
Foto: Republika/Yasin Habibi
Terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Persidangan terhadap terdakwa penista agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terus berjalan. Bahkan, jakasa penuntut umum (JPU) telah menuntut gubernur DKI yang akrab disapa Ahok itu dengan hukuman penjara satu tahun dan masa percobaan dua tahun.

Ketua Umum Aliansi Advokat Muslim NKRI (AAM-NKRI) Al-Katiri meminta masyarakat, terutama umat Islam, mendukung majelis hakim agar memberikan putusan yang adil. "Kami dari AAM-NKRI sebagaimana pula masyarkat pada umumnya, terpanggil untuk memberikan dukungan kepada majelis hakim untuk memberikan putusan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Al Katiri saat dihubungi Republika.co.id, Kamis, (4/5).

Al-Kitiri mengatakan, dalam menjalankan kehidupan keagamaan yang kondusif, memerlukan jaminan adanya perlindungan terhadap kesucian ajaran agama, termasuk penegakan hukum (law enforcement). Untuk itu, dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ahok majelis hakim harus memperhatikan rasa keadilan masyarakat.

"Jika majelis hakim memutuskan sesuai tuntutan jaksa yaitu hukuman 1 tahun dengan masa percobaan dua tahun, maka itu mencederai rasa keadilan. Pasalnya, orang yang dijatuhi hukuman itu tidak perlu menjalani hukuman penjara," ujarnya.

Al-Katiri menuturkan, jika dilihat dari hukum pidana ada tiga hal yang harus dilindungi. Yaitu, pertama, kepentingan individu (individuele belangen); kedua, kepentingan sosial/masyarakat (sociale belangen); dan ketiga, kepentingan negara (staatsbelangen). "Jadi, dapat disimpulkan bahwa kepentingan agama sangat berkaitan erat dengan kepentingan individu, kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara," katanya.

Dia mengatakan, apa yang dilakukan Ahok merupakan suatu tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 156a dan Pasal 156 termasuk dalam bagian Bab V tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Dengan demikian, masuknya Pasal 156a dalam KUHP menunjukkan bahwa kriminalisasi lebih ditujukan dan mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan umum.

Karena, kata dia, dalam dimensi kepentingan umum sudah termasuk melindungi kepentingan agama. Kepentingan umum penekanannya adalah ketertiban umum yang terganggu karena adanya pelanggaran terhadap ketertiban umum.

Al- Katiri mengatakan, perkara penodaan agama yang didakwakan kepada terdakwa Basuki harus dipahami secara holistik bukan parsial. Bukan antara dilihat antara Ahok dengan Majelis Ulama Indonesia dan/atau salah satu Ormas Islam. Karena, kasus ini sangat terkait dengan jaminan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Penegakan hukum terhadap pelaku penodaan agama merupakan satu kesatuan dengan menegakkan hukum itu sendiri. Hal ini selaras dengan teori yang memandang 'rasa keagamaan' sebagai kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi," katanya.

Ketika perlindungan terhadap kepentingan agama dicederai, kata dia, maka itu sama artinya dengan mencederai konsepsi negara hukum dan pada akhirnya mengancam keutuhan bangsa dan negara.

Dalam kasus Ahok, menurut dia, tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut umum dipandang telah mencederai rasa keadilan, dan telah keliru menuntut dengan percobaan, karena berada di luar kewenangannya. Kewenangan memutus pidana bersyarat (percobaan) menurut Pasal 14a dan seterusnya dalam KUHP adalah mutlak wewenang hakim, bukan wewenang JPU.

"Hal inilah yang menjadi keyakinan kami, pada akhirnya majelis hakim yang mulia akan memutuskan bahwa dakwaan alternatif kedua dinyatakan secara sah dan meyakinkan tidak terbukti, dan menyatakan secara sah dan meyakinkan dakwaan alternatif kesatu terbukti," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement